Contoh Cerpen Terbaik - Cerpen adalah cerita pendek, jenis karya sastra yang memaparkan kisah
ataupun cerita tentang manusia beserta seluk beluknya lewat tulisan
pendek. Atau definisi cerpen yang lainnya yaitu merupakan karangan
fiktif yang isinya sebagian kehidupan seseorang atau juga kehidupan yang
diceritakan secara ringkas yang berfokus pada suatu tokoh sja. Maksud
dari cerita pendek disini ialah ceritanya kurang dari 10.000 (sepuluh
ribu) kata atau kurang dari 10 (sepuluh) halaman. Selain itu, cerpen
hanya memberikan kesan tunggal yang demikian dan memusatkan diri pada
satu tokoh dan satu situasi saja.
Struktur teks cerpen dintaranya ada 6 (enam) bagian yaitu:
- Abstrak – merupakan ringkasan ataupun
inti dari cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian-rangkaian
peristiwa atau bisa juga gambaran awal dalam cerita. Abstrak bersifat
opsional yang artinya sebuah teks cerpen boleh tidak memakai abstrak.
- Orientasi – adalah yang berkaitan dengan waktu, suasana, maupun tempat yang berkaitan dengan cerpen tersebut.
- Komplikasi – Ini berisi urutan
kejadian-kejadian yang dihubungkan secara sebab dan akibat, pada
struktur ini kamu bisa mendapatkan karakter ataupun watak dari tokoh
cerita sebab kerumitan mulai bermunculan.
- Evaluasi – Yaitu struktur konflik yang terjadi yang mengarah pada klimaks mulai mendapatkan penyelesainya dari konflik tersebut.
- Resolusi – Pada struktur bagian ini si pengarang mengungkapkan solusi yang dialami tokoh atau pelaku.
- Koda – Ini merupakan nilai ataupun pelajaran yang dapat diambil dari suatu teks ceriita oleh pembacanya.
Ciri-ciri cerpen
- Terdiri kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) kata.
- Bentuk tulisan yang singkat tentunya lebih pendek dari Novel.
- Isi dari cerita berasal dari kehidupan sehari-hari.
- Penokohan dalam cerpen sangat sederhana.
- Bersifat fiktif.
- Hanya mempunyai 1 alur.
- Habis dibaca sekali duduk.
- Penggunaan kata-kata yang mudah dipahami oleh pembaca.
- Mengangkat beberapa peristiwa saja dalam hidup tidak seluruhnya.
- Kesan dan pesan yang ditinggalkan sangatlah mendalam sehingga si pembaca ikut merasakan isi dari cerpen tersebut.
Kumpulan Contoh Cerpen Terbaik Lengkap Menyentuh Hati dan Terbaru 2016
Persahabatan Yang Hancur Karena Cinta
oleh: Arum Nadia Hafifi
Cinta itu memang kadang membuat orang lupa akan segalanya. Karena cinta
kita relakan apapun yang kita miliki. Bagi kaum wanita mencintai itu
lebih baik daripada dicintai. Jangan terlalu mengharapkan sesorang yang
belum tentu mencintai kita tapi terimalah orang yang sudah mencintai
kita apa adanya. Mencintai tapi tak dicintai itu seperti olahraga
lama-lama supaya kurus tapi hasilnya nggak kurus-kurus. Belajarlah
mencintai diri sendiri sebelum anda mencintai orang lain.
Gue Amel siswa kelas X. Dulu gue selalu menolak dan mengabaikan orang
yang mencintai gue, tapi sekarang malah tebalik gue selalu diabaikan
sama orang yang gue cintai.
Gue suka sama teman sekelas gue dan plus dia itu teman dekat gue, udah
lumayan lamalah. Cowok itu namanya Nino anak rohis. Gue suka sama dia
berawal dari perkenalan terus berteman lama-lama dekat dan akhirnya gue
jadi jatuh cinta gini.
Oh iya gue punya temen namanya Arum, dia temen gue dari SMP. Arum gue dan Nino itu berteman dekat sejak masuk SMA.
Suatu hari gue ngeliat Arum sama Nino itu bercanda bareng dan mereka
akrab banget seperti orang pacaran. Jujur gue cemburu, tapi gue
nyembunyiinn itu dari Arum.
Lama-lama capek juga mendam rasa suka kayak gini. Akhirnya gue mutusin untuk cerita sama Arum.
``Rummmm gue mau ngomong sesuatu, tapi jangan bilang siapa-siapa``
``Ngomong apa?`` tanya Arum
`` Jujur gue suka sama Nino udah lama, dan gue cemburu kalo lo dekat sama Nino!`` Jawab
Amel
`` Lo suka Nino? Serius?`` Tanya Arum
`` Iya, tapi lo jangan bilang Ninonya`` gertak Amel
`` Iyaiya maaf ya kalo gue udah buat lo cemburu``
`` Okee ``
Amel makin lama makin dekat dan Amel susah untuk ngelupain Nino. Amel
berfikir Nino nggak akan pernah jatuh cinta sama Amel. Walau Amel udah
ngerasa seperti itu tapi dia tetap berjuang. Tanpa disadari Arum
ternyata juga suka sama Nino.
Amel mengetahui kalo Arum suka sama Nino. Nggak disengaja Amel membaca
buku diary Arum. Disitu tertulis curhatan Arum tentang perasaannya
kepada Nino.
Setelah Amel membaca buku diary Arum, dia merasa kecewa karena temen
sendiri juga suka sama cowok yang sama. Tapi Amel berfikir rasa suka itu
datangnya tiba-tiba jadi siapa pun berhak untuk suka sama Nino. Amel
tetap terus berjuang mengambil hati Nino, walau harapanya kecil.
Di taman sekolah Amel melihat Arum dan Nino sedang berincang-bincang,
tapi ini beda mereka terlihat serius. Amel penasaran dan akhirnya ia
nguping dibalik pohon.
``Ruummm gue suka sama lo, lo mau nggak jadi pacar gue?`` Tanya Nino
Arum kaget dia bingung harus jawab apa, tapi akhirnya Arum menerima Nino
jadi pacarnya tanpa memikirkan perasaan Amel sahabatnya sendiri.
`` Iya aku mau`` Jawab Arum
Amel yang mendengar jawaban Arum dibalik pohon kaget, dia tak menyangka
sahabatnya akan tega. Tanpa berfikir Amel keluar dari belakang pohon.
`` Rumm lo pacaran sama Nino? Congrast ya lo udah bikin gue sakit hati``
Arum dan Nino kaget tiba-tiba Amel muncul dari belakang pohon dan bilang sperti itu.
`` Maafin gue Mell, tapi gue cinta sama Nino``
`` Yaudahlah ``
Amel langsung pergi meninggalkan Arum dan Nino. Perasaanya campur aduk
nggak karuan, dia masih bingung kenapa temannya tega melakukan hal itu.
Padahal Arum tau kalo Amel udah lama ngejar-ngejar Nino.
Persahabatan bisa hancur begitu saja karena cinta. Utamakan sahabat mu
daripada pacarmu karena orang yang bakal selalu ada disaat kamu senang
dan susah itu sahabat. Persahabatn yang dijalin cukup lama bisa hancur
seketika karena masalah cinta.
Persahabatan Di Ujung Senja
Kini ku habiskan waktuku tanpamu di kala senja, aku merindukanmu
sahabat yang jauh di sana, aku merindukanmu, aku sungguh merindukanmu.
Ku hanya bisa mencurahkan isi hatiku lewat coretan-coretan kecilku ini.
Flash back..
“Cha, kamu mau nggak aku panggil Juliet dan aku Romeonya?” Tanya Rangga,
ya namanya memang Rangga, tepatnya Rangga Setiawan, dia adalah pahlawan
di masa kecilku.
“Hm, emang kenapa aku harus jadi Juliet dan kamu Romeonya?” tanyaku.
“Hm, soalnya aku mau kamu inget terus sama aku, kisah Romeo dan Juliet
itu so sweet banget, Romeo rela mati demi Juliet, begitu pun sebaliknya,
jadi kelak kita akan seperti Romeo dan Juliet jadi kisahnya Jadi Icha
dan Rangga,” jawabnya. “Ih, gak mau ah, aku belum mau mati kayak Romeo
dan Juliet,” Jawabku.
“Hm, bukan gitu maksudnya, nanti Persahabatan kita akan tetap abadi,
sampai ajal memisahkan kita, Icha dan Rangga selamanya akan tetap jadi
sahabat,” ucapnya.
“hm, iya deh aku mau jadi julietnya Romeo,” Jawabku.
Keesokan harinya. Rangga tampak menungguku di tempat biasa kami
bersenda gurau bersama di kala senja. “Hey!” aku pun mengagetkannya.
“Argh, Juliet mah suka usil,” ucapnya. “Habisnya bengong aja,” jawabku.
Kami pun bersenda gurau di kala senja itu menghabiskan waktu bersama
seperti biasanya.. tapi entah kenapa Rangga tidak seperti biasanya, dia
nampak sedih. “Cha, aku mau bilang sesuatu sama kamu,” ucapnya.
“Apa?” jawabku. “Hmm, aku sama keluargaku mau pindah, soalnya Ayahku
pindah tugas ke luar kota, Jadi mau tidak mau aku harus ikut,” Saat
mendengar itu raut wajahku seketika berubah menjadi sedih. Aku pun
beranjak dari tempat dudukku disusul oleh Rangga. “Cha, aku janji
bakalan selalu berkunjung kalau lagi liburan, Romeo Janji, Juliet..”
ucapnya. Bibirku kaku tak sanggup mengucap apa pun, sungguh ini sangat
menyakitkan, aku tak sanggup kehilangan Pahlawanku, namun apa boleh
buat?
Hari ini Rangga akan meninggalkanku.
“Cha, aku pergi ya! Kamu jangan sedih, aku kan udah janji bakalan kembali hanya untuk Julietnya Rangga,” ucapnya.
“Tapi, siapa nanti yang akan menghapus air mata Juliet di kala Juliet
sedih, dan siapa yang akan melindungi Juliet dari angsa-angsa yang
nantinya mengejar Juliet,” ucapku.
“Cha, meski Raga kita berpisah, tapi ingat Hati kita akan selalu
menyatu, lagi pula Romeo udah janji bakalan kembali untuk Juliet.” Mau
tidak mau aku pun merelakan kepergiannya.
Pukul 22.00
setelah kepergiannya, entah kenapa aku tidak bisa tidur, ada rasa
kekhawatiran dalam hatiku, tidak seperti biasanya aku seperti ini, “Apa
karena kepergian Rangga?” tanyaku di dalam benakku. Namun tiba-tiba
terdengar suara jeritan dari Ruang Tengah, aku pun keluar dari kamarku
menuju sumber suara, yang ternyata berasal dari Bunda, aku pun
menghampirinya, “Bun, Bunda, Bunda kenapa?” tanyaku.
“Rangga, Cha, Rangga,” jawabnya.
“Rangga.. Rangga kenapa Bunda?” tanyaku Khawatir.
“Rangga beserta keluarganya tewas dalam kecelakaan, tidak ada yang selamat,” Jawab Bunda.
Hatiku hancur berkeping-keping kala mendengar hal itu. Tak terasa air mata membasahi Pipiku. Rangga.. Tuhan Kenapa harus dia?
Sejak kepergiannya meninggalkanku untuk selamanya. Ku duduk termenung
sendirian di tempat biasa aku dan Rangga biasa menghabiskan waktu
bersama di kala senja sampai di ujung Senja. Rangga.. di mana Janji kamu
untuk kembali bersamaku? di mana Ngga? Rangga.. aku Janji bakalan
jadiin kamu Romeo di hatiku untuk selamanya. Selamat jalan sahabatku.
Selamat jalan pahlawanku. Aku akan selalu mengenangmu di kala senja.
Kamu akan selalu di hatiku, persahabatan kita akan tetap abadi untuk
selamanya. Walaupun raga memisahkan kita.
SELESAI
Cerpen Karangan: Yuni Annisa Hafni Rambe
Facebook: Yuni Annisa Hafni Rambe
Manakah Cintamu
Pikiranku mulai melayang memikirkan seorang lelaki yang sangat
mengecewakan hati semua wanita, bahkan aku yakin tidak akan ada wanita
yang mau diperlakukan demikian. Kecewa sudah pasti tidak luput juga rasa
sedih. Hari itu berjalan lancar seperti biasa aku duduk bersama dengan
sahabatku, Aliyah. Jam penantian sudah terdengar apalagi kalau bukan jam
istirahat aku sepakat untuk memakan bekal bersama. Lalu datanglah
Fahrul yang tiba–tiba duduk di depanku lalu memakan bekal bersamaku
entah kenapa Aliyah langsung menyudahi makannya awalnya aku menarik
tangannya agar tetap menemani aku makan ternyata dia kebelet ke kamar
mandi ya sudah mau bagaimana lagi dalam sederet aku hanya berdua dengan
Fahrul.
“Sofia, kamu makan sama apa?” sambil memindah posisi makannya berhadapan denganku.
“Seperti biasa sama nasi goreng, kenapa?”
“Eh.. nggak apa cuma tanya, loh sudah habis.” dia melihatku menutup
tempat makanku aku nggak suka ngobrol sama anak laki yang belum dekat
sama aku dan aku juga nggak enak jadi bahan ocehan gosip anak lain.
“Belum tapi aku sudah kenyang, aku mau cari Aliyah.” sambil berdiri.
“Tunggu.” sambil memegang tanganku aku menatapnya aneh dengan sendririnya dia melepaskan tanganku.
“Aku mau ngomong sama kamu.” melihat perilakunya tadi aku sangat kecewa tapi ku coba untuk menghargai dia.
“Ngomong apa?” jawabku datar.
“Jujur aku suka sama kamu, kamu mau jadi pacarku?”
Kalimat itu terlontar dari bibirnya yang belepotan sisa makanan
sungguh aku tidak ada rasa sedikit pun untuk dia malah untuk orang lain
itu pun aku pendam tidak ada seorang pun yang tahu bahkan sahabatku
sendiri. Aku tidak tahu harus menjawab apa tetap saja hatiku berdebar
aku juga tidak mau untuk membuat Fahrul kecewa. “Maaf Rul, aku nggak
bisa jawab sekarang beri aku waktu. Assalamualaikum.” aku pergi menuju
kamar mandi untuk menyusul Aliyah tapi dia tidak ada mungkin dia ada di
Kantin, tidak ada juga sudah mungkin dia ada di kelas.
Dalam perjalanan ku pikirkann kalimat Fahrul baik–baik kalimat itu
sudah sangat pasti dan jelas apakah aku harus menerimanya atau aku
menanti seorang lelaki idamanku Mas Reza aku tahu memang tidak ada orang
yang sempurna aku tahu aku sudah tidak kuat menanti Mas Reza yang
selalu cool kepadaku tidak ada kejelasan dan tidak pasti. Bel masuk
sudah berbunyi nyaring ke telinga segera aku menuju kelas dan memulai
pelajaran kembali di tengah sibuknya hari. Aku masih sempat saja menemui
Fahrul yang sibuk melirikku sambil ku tangkap senyum manisnya yang
membuat lesung pipinya terlihat. Aku dan Aliyah sepakat untuk salat
duhur berjama’ah setelah pulang sekolah karena musala yang kecil itu
sudah penuh dengan para siswa.
Bel itu tidak lama sudah berbunyi lagi, aku segera bergegas sambil
berlari kecil tentu saja sambil bergurau ku lihat musala sangat sepi
hanya ada aku dan Aliyah. Tidak masalah bukannya salatnya pasti akan
semakin khusyuk. Setelah wudhu ku lihat ada seorang lelaki, Fahrul lagi
awalnya aku sedikit salah tingkah karena kalimatnya tadi ku coba untuk
segera mengusai diri dengan tetap mengingat Allah saja. Aliyah
memintanya menjadi imam dan dia mau selesainya aku langsung pergi
meninggalkan Fahrul dan Aliyah. Aku tidak mau memandangnya tapi tidak
selang lama dia mengejarku dan mengucapkan kalimat itu lagi dan aku
tetap pada pendirianku untuk tidak menjawabnya, menyelesaikan hariku.
Mentari sudah terbit di ufuk timur warna langit yang gelap sudah terang
benderang keputusanku sudah bulat aku mau menerima Fahrul apa adanya aku
bergegas berangkat sekolah aku ingin segera mengungkapkan isi hati yang
membara ini.
Senyum di pipiku seperti mengembang tiada habisnya dan tak terasa aku
sudah sampai di sana aku mendengar suaranya semakin hati ini melayang
ke angkasa, langkahku serasa ringan. Betapa terkejutnya diriku melihat
dia ada di depan kelas dengan posisi berjongkok sambil memegang tangan
Aliyah. Awalnya aku tidak memiliki prasangka sambil mengungkapkan isi
hatinya. Air mataku menetes hati membara dengan amarah tusukan pedang
serasa membelah tubuhku apa maksud semua ini kenapa kamu menembakku tapi
kamu juga menembak yang lain. Dan kenapa harus Aliyah dia sahabatku
Fahrul aku sahabatnya tega sekali kamu merusak persahabatan ini kau
nodai dengan tingkahmu, hatimu, dan perasaanmu, sungguh aku tidak kuat
melihatnya.
Ku tinggalkan mereka berdua aku menuju taman yang akan selalu ku
kenang di sini masih terbayang wajah Aliyah. Tawanya, senyumnya, dan
semua tentang Aliyah apakah secepat ini persahabatan ini runtuh? apa
secepat ini aku harus berpisah dengan Aliyah tempat aku bercerita,
tempat aku bergurau, tempat segalanya bagiku. Ya Allah aku akui aku
salah aku sudah berniat menerima Fahrul dan itu berarti aku akan
mendekati zina tapi haruskah dengan cara yang seperti ini. Aku terima
semua nasib ini dan aku akan selalu mengingatmu. Tuhan dalam menentukan
segala hal dan tidak akan ku ulangi ini kembali.
Cerpen Karangan: Salsabila Dwi P.
Facebook: SalsaBila
Sebuah Kehidupan
Setiap hari hujan turun begitu deras. Sederas air mata yang jatuh di
kedua pipiku. Entah mengapa seakan hidup ini begitu melelahkan untuk
dijalani, tapi kaki ini masih bisa untuk terus melangkah. Begitu bosan
telinga ini mendengar ocehan kedua orangtua yang selalu menuntutku untuk
melakukan ini dan itu, dengan alasan yang selalu sama. Ya, Demi masa
depanku. Apa mungkin ini sebuah keegoisanku? Aku tak pernah mau tahu
dengan apa yang diinginkan oleh kedua orangtuaku terhadapku. Namun di
dalam hatiku aku selalu berkata dan berjanji, “Bersabarlah Ayah dan
Bundaku, aku sedang berusaha meraih cita-citaku dengan caraku sendiri.
Aku membangkang kepada kalian buka karena aku tak patuh, tapi aku ingin
menunjukkan kepada ayah dan bunda bahwa aku ini akan sukses untuk
membanggakan kalian dengan caraku sendiri.” Ku langkahkan kaki ini pergi
meninggalkan rumah, untuk menenangkan hati dan pikiranku.
Terkadang aku bingung dengan apa yang ku lihat. Orang jahat selalu
bahagia, kenapa orang baik tidak? Orang jahat selalu di atas, kenapa
orang baik ditindas? Apa hidup tak seadil yang aku kira? Hidup ini
memang sulit. Ya, sulit bila kita terus mencari sebuah keadilan.
Bukankah kita hidup memang untuk melewati semua kesulitan itu? Tuhan
tahu bagaimana karakter kita. Bersabarlah, itu kuncinya. “Sabar itu
bukan hal yang mudah!” mungkin itu yang selalu aku dengar dari
orang-orang di sekitarku, “Memang benar, sabar itu tidak mudah. Tapi
selagi kita masih sanggup untuk bersabar kenapa tidak? Ya, kan!”
Gerutuku dalam hati.
Sabar itu ibaratkan pohon, biarpun angin terus merontokkan daunnya
namun pohon tak menyalahkan angin dan masih kuat untuk menjulang tinggi.
Biarpun kita terus-terusan disakiti, ikhlaslah karena Tuhan maha
mengetahui segalanya, semua ada waktunya ketika burung hidup dia makan
semut. Tetapi ketika burung mati, burung itu akan habis oleh semut. Satu
buah pohon bisa membuat jutaan korek api, tapi satu batang korek api
bisa membakar jutaan pohon. Bukankah itu sudah adil? Kita hadir di bumi
ini sebagai pemain dan Tuhan-Lah yang menyutradarainya. Jalan saja
sesuai jalan yang ingin kita lalui. Selagi itu benar jalannya, jika pun
jalan yang telah kita lalui itu salah maka pasti ada cerita tersendiri
nantinya.
Ku berjalan terus menyusuri jalan kehidupan ini, banyak sekali
nilai-nilai kehidupan yang ku dapat. Di lorong jalan ku temui seorang
gadis kecil berusia 10 tahun bersama adik laki-lakinya yang masih
berusia 5 tahun. Ku langkahkan kaki ini menuju mereka, ku bertanya
kepada gadis kecil itu. “Apa yang kamu cari di lorong yang sepi ini?
Kasihan adikmu. Di mana orangtua kalian?” Namun gadis kecil itu diam
membisu, tak menjawab pertanyaanku. Ku lihat wajahnya yang mulai
bersedih, air matanya tiba-tiba tertumpah. Berlari mereka kepadaku,
tiba-tiba memelukku dan aku mulai berkata. “Hei, kenapa kalian menangis?
Katakan saja kepadaku, jangan takut.” Tanyaku kembali, dengan mengusap
air matanya.
“Kami di sini mencari Ayah dan Ibu, kami pergi dari panti karena kami
rindu Ayah dan Ibu.” air matanya kembali mengalir, begitu pun denganku.
Ternyata mereka tinggal di sebuah Panti Asuhan yang tak begitu jauh
dari lorong yang mempertemukan kita. Mereka pergi mencari ayah dan
ibunya, mereka merindukan orangtuanya tetapi mereka tak pernah tahu
harus ke mana mencarinya. “Yuk, ku antarkan kalian pulang ke panti. Ibu
panti pasti sudah khawatir dengan kalian.” Ku alihkan pembicaraan dan ku
ajak mereka kembali. Karena aku tak tahu apa yang harus aku katakan
lagi. Aku sangatlah paham dengan perasaan mereka, namun aku tak ingin
membuat mereka semakin bersedih karena semua pertanyaanku nanti.
Setibanya di panti memang benar, ibu panti kesusahan mencari mereka
berdua. Ku lihat kegelisahan di raut wajahnya yang sudah menua. “Maaf
Ibu, apa mereka anak panti asuhan ini?” sapa dan tanyaku, kepada ibu
panti.
“Ya Tuhan, Rani dan Reno.” sembari memeluk mereka berdua, “Alhamdulillah
kalian kembali Nak.” Ucapan syukur dari perempuan tua yang sangat
mengkhawatirkan putra dan putri asuhnya. “oh, namanya Rani dan Reno.”
ucapku dalam hati.
“Siapakah dirimu, Nak?” tanya ibu panti kepadaku.
“Saya Santi Bu, saya temukan Rani dan Reno menangis di lorong simpang jalan situ.” Ibu panti tersenyum kepadaku.
“sebentar, saya antarkan Rani dan Reno ke kamar dulu.”
“Terima kasih kakak baik.” ucap Rani dan Reno kepadaku dengan berlari menuju kamar mereka Rani dan Reno, tersenyum kepadaku.
Tak terasa air mataku menetes ketika aku melihat senyuman mereka.
Betapa pilunya kehidupan mereka ini, mereka masih bisa tersenyum ketika
hatinya mempertanyakan di mana ayah dan ibunya berada. Dan ketika itu
aku menangis dan hatiku begitu sakit “Tak bersyukurnya aku. Yang masih
punya ayah dan bunda yang begitu memperhatikan aku, namun aku masih saja
menyakiti hati mereka dengan keegoisanku. Ahhh bodohnya aku.” Sesal ku
dalam hati. Ku lihat ibu panti kembali berjalan ke arahku. Ku usap air
mataku, ibu panti duduk di sampingku dan berkata kepadaku
“Santi, terima kasih kamu sudah mengantarkan Rani dan Reno pulang.
Ibu khawatir dengan mereka, takut terjadi apa-apa.” Tersenyum dan aku
mulai berkata.
“Apa yang telah terjadi dengan mereka Bu? Di mana orangtuanya?” menghela napas dan menjawab pertanyaanku.
“Rani dan Reno sudah 5 tahun berada di panti ini, orangtua mereka
meninggalkannya di depan pintu panti ini Nak. Ibu sendiri pun belum tahu
siapa orangtua mereka, ibu sangat sedih ketika Rani selalu menanyakan
di mana Ayah dan Ibunya. Ibu selalu membohongi mereka dengan alasan
orangtua mereka sedang bekerja di luar negeri. Mengumpulkan uang untuk
mengajak mereka berdua jalan-jalan.”
Begitu mengiris hati cerita Rani dan Reno ini, dua orang anak kecil
yang ditinggalkan oleh orangtuanya begitu saja. Ku rangkul pundak ibu
panti yang mulai menangisi Rani dan Reno, “Jaga Rani dan Reno baik-baik
ya Bu, Santi akan mengunjungi panti ini untuk Rani dan Reno. Mulai hari
ini Santi akan membantu ibu untuk mengurus mereka.”
“Terima kasih Nak Santi, kamu memang baik hati. Rani dan Reno pasti
senang dengan kabar ini.” Berpamitan aku kepada ibu panti dan aku
bergegas untuk pulang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah menemui
ayah dan bunda meminta maaf kepada mereka. Aku merasa bersalah sudah
pergi dari rumah hanya untuk menuruti keegoisanku saja.
Dan setelah hari itu, hari-hari selanjutnya aku mendatangi panti
selama 4 kali dalam seminggu. Betapa bahagianya aku bisa melihat Rani
dan Reno tersenyum, tertawa gembira saat aku menemani hari-hari mereka.
Mulai dari menemani mereka belajar, bermain, mengajari mereka salat dan
menemani mereka sampai tertidur pulas. Berkat kisah Rani dan Reno, aku
menjadi paham akan arti dari kehidupan ini, aku harus bisa untuk selalu
bersyukur dengan apa yang sudah aku miliki saat ini. Mungkin apa yang
diinginkan oleh orangtuaku, tak sesuai dengan apa yang aku inginkan.
Tetapi orangtua selalu ingin yang terbaik untuk buah hatinya. Dan jika
aku bisa ikhlas menerimanya, maka semua akan terasa mudah untuk
dijalani.
Mungkin inilah yang dinamakan nilai dari Sebuah Kehidupan. Sebaik apa
pun hati kita, bila kita tidak pernah memberikan kebahagiaan untuk
orang lain maka, percumalah semuanya. Ketika kita lahir, kita menangis
dan orang-orang di sekeliling kita tersenyum. Maka, jalanilah hidup kita
sebaik mungkin sehingga pada waktu kita meninggal nanti, kita tersenyum
dan orang-orang di sekeliling kita menangis.
Cerpen Karangan: Jeany Navita Anwar
Facebook: Jeany Navita Anwar
Nama: Jeany Navita Anwar
TTL: Tulungagung, 29 November 1996
Umur: 19 Tahun
Agama: Islam
Pekerjaan: Karyawan Swasta
Sosial Media: @navitaanwar (instagram)
Cerpen Persahabatan
Nikmatnya bila semua serba tercukupi, semua keinginan bisa terpenuhi
sampai barang apapun bisa dibelinya, itulah riska, seorang anak dari
kongomerat yang sangat kaya, Ibu dan Ayahnya adalah pengusaha besar yang
berada di daera Kota Jakarta. Tapi hal yang sangat baik dari keluarga
itu adalah mereka mampu bersikap dan berperilaku layaknya orang biasa,
bersopan santun, ramah terhadap tetangga begitupun kepada orang-orang
yang berkunjung ke rumahnya. Tak terkecuali dengan riska, anaknya manis
dan tidak pernah manja dengan orang tuanya, dia bisa bersikap baik
terhadap semua orang termasuk teman-temanya sehingga banyak yang betah
ketika bertamu kerumahnya.
Salah satu sahabat terbaik riska yaitu Ika, dia berasal dari keluarga
sederhana, rumahnya yang masih satu kecamatan dengan riska mambuatnya
gampang untuk bermain atau sekedar bertemu dengan riska. Namun pada
hari ini sahabatnya Ika tak pernah keliatan lagi,, hampir sudah 3 minggu
ini.
“Ko` Ika ngga` pernah keliatan? Kemana ya, g biasanya dia selalu masuk sekolah”.
“Mungkin sakit” , jawaban dari Mama
“Kalo begitu coba nanti sore aku pengen ke rumahnya lagi”. Kata riska sangat bersemangat
Sudah beberapa kali riska mengetuk pintu, namun tak ada jawaban dari
dalam rumah, kemudian tiba – tiba muncul orang dari sebelah rumah.
“Ada apa mb”, tanya orang lelaki itu
“Saya mau mencari teman saya , Ika namanya”, jawabnya cepat
Alangka terkejutnya jawaban dari lelaki itu, jika Ika yang selama ini
dia kenal dan menjadi sahabatnya mengontrak di rumah itu, kemudian
kembali ke desanya karena menurut kabar orang tuanya sudah berhenti
bekerja akibat di PHK oleh perusahaanya.
Sekembalinya riska ke rumah, ia hanya bisa melamun dan tidak bisa
berbuat apa – apa. Lantas ia pun bergegas ingin mencari Ika di desanya.
“Mama, aku ingin mencari Ika, biarkan dia bisa melanjutkan sekolahnya lagi”, tanyanya
“Baiklah kalo itu keinginanmu, mari bergegas dan segera mencari alamt Ika dahulu”, jawab Mamanya dengan penuh perhatian
Akhirnya keinginan Riska terpenuhi, dan selama beberapa jam bertanya –
tanya di tempat pedesaan yang pernah Riska ketahui, bisa menemukan
alamat rumah Ika. Kedatanganya pun disambut haru dan isak tangis oleh
keluarganya termasuk Ika. Pelukan hangat diantara mereka menjadikan
persahabatanya semakin erat.
“Ika, kedatanganku sama keluarga ingin mengajakmu kembali bersekolah sekaligus ikut kami ke Jakarta lagi”. Katanya Riska
“Soal sekolah dan biaya apapun, kamu ngga` usah khawatis biar saya yang menanggunya”, lanjut Papa Riska
“Baiklah bila Riska dan Bapak Ibu menghendaki dan memberikan kesempatan
itu pada saya, saya sangat bersyukur dan banyak mengucapkan terima kasih
atas kebaikan Riska dan keluarga”. Jawabnya Ika diselingi haru yang
luar biasa.
“terima kasih banyak Pak, Buk, kami tidak bisa lagi harus memberikan
imbalan seperti apa, karena hanya petani biasa”, lanjutnya Ibu dan Bapak
Ika
Lalu mereka pun kembali berpelukan untuk kembali menyambut Ika menjadi sahabatnya kembali.
KADO TERAKHIR UNTUK SAHABAT
Karya Nurul Alma Febriyanti
Lima
hari sebelum kawanku pindah jauh disana. Selepas makan siang, aku
langsung kembali beranjak ketempat aku bermain dengan sahabatku.
“hei,
kemana saja kamu? Daritadi aku nungguin” Tanya sahabatku yang bernama
Alvi. “tadi aku makan siang dulu” jawabku sambil menahan perut yang
penuh dengan makan siang “ah ya sudah, ayo kita lanjutkan saja mainnya”
sahut Alvi. Tidak lama saat aku & Alvi sedang asyik bermain
congklak, Rafid adiknya Alvi datang menghampiri kami berdua.
“kak,
aku pengen bilang” kata Rafid “bilang apa?” sahut Alvi penasaran “kata
bapak, sebentar lagi kita pindahan” jawab Rafid “hah? Pindah kemana?”
tanyaku memotong pembicaraan mereka “ke Bengkulu” jawab Rafid dengan
singkatnya “ya udah kak, ayo disuruh pulang sama ibu buat makan siang
dulu” ajak Rafid ke Alvi “iya deh.. ehm.. Alma, aku pulang dulu ya aku
mau makan siang” ujar Alvi “eh, iya deh aku juga mau pulang kalau gitu”
sahutku tak mau kalah.
Sesampainya dirumah aku langsung masuk
kedalam kamar & entah kenapa perkataan Rafid yang belum pasti
tersebut, terlintas kembali ke pikiranku. “Andai perkataan tersebut
benar, tak terbayang bagaimana perasaanku nanti” ujarku pada cermin yang
menatapku datar “sudahlah daripada aku memikirkan yang belum pasti
lebih baik aku mendengarkan musik saja” ujarku kembali sambil beranjak
mengambil mp3. Tak lama kemudian aku mendengar sebuah pembicaraan, yang
aku tau suaranya sudah tak asing lagi bagiku yaitu orang tuaku &
orang tua Alvi sahabatku. Aku mencoba mendekati pintu kamar untuk
mendengarkan pembicaraan itu. Tak lama tanganku keringat dingin, aku
sudah mendapatkan inti pembicaraan ternyata benar apa yang dikatakan
Rafid pada Alvi tadi siang bahwa mereka akan pindah kurang lebih sebulan
lagi.
Lemas sudah tubuhku setelah mendengar kabar itu, tiba-tiba
ibu mengetuk kamarku & mengagetkanku yang sedang bingung itu.
*Tok3X… “Alma, kamu mengunci pintu kamarmu ya” Tanya ibu sambil mencoba
membuka pintu “enggak kok” jawabku dengan lemasnya “kamu kenapa.. ayoo
buka kamarmu!!” teriak ibu “iya.. sebentar” sahutku sambil membuka
pintu.
“ngapain kamu mengunci kamar?” Tanya ibu.
“gak knapa2… tadi aku memang lg duduk didepan pintu” jawabku sambil menoleh keruang tamu yang berhadapan dengan kamar tidurku.
“ya sudah, tadi orang tuanya Alvi bilang kalau mereka ingin pindah bulan depan”
“iya, aku sudah tau” sahutku kembali ke kamar tidur.
“oh kamu tidak sedih kan?” Tanya ibu yang menghampiriku.
“…” tak kujawab pertanyaan ibu.
“hm..
sudahlah tak usah dibahas dulu.. sana tidur siang dulu biar nanti malam
bisa mengerjakan PR” ujar ibu sembari mengelus elus rambutku.
“iya…” jawabku singkat.
Esoknya
tepat dihari Minggu, matahari pagi menyambutku. Suara ayam berkokok dan
jam beker menjadi satu. Tetapi, aku tetap saja masih ingin ditempat
tidur. Sampai sampai ibuku memaksaku untyk tidak bermalas malasan.
“Alma,
ayoo bangun.. perempuan gak baik bangun kesiangan” ujar ibu sambil
melipat selimutku. “sebentar dulu lah.. aku masih ngantuk” sahutku
sambil menarik selimut ditangan ibu. “itu Alvi ngajak kamu main.. ayoo
bangun!!” ujar ibu kembali sambil mengeleng gelengkan kepala. “oh oke
oke” sahutku semangat karena ingat bahwa Alvi akan pindah sebulan lagi.
Lalu, aku langsung beranjak dan segera lari keluar kamar tidur untuk
mandi & sarapan. Setelah itu Alvi tiba-tiba menghampiri rumahku
“Assalamualaikum, Alma!!” panggil Alvi dari depan rumah.
“walaikumsallam, iya!!” sahut ibuku yang beranjak keluar rumah.
“oh ibunya Alma, ada Alma nya gak?” Tanya Alvi.
“Alma nya lagi sarapan, sebentar ya tunggu dulu aja. Sini masuk” jawab ibuku.
“iya, terimakasih” sahut Alvi.
Ketika aku sedang asyik asyiknya sarapan, Alvi mengagetkanku.
“Alma,
makan terus kau ini” ujar Alvi sambil tertawa. “yee, ngagetin saja kamu
ini. Aku laper tau” sahutku sambil melanjutkan sarapan. “kok gak
bagi-bagi aku sih” Tanya Alvi sambil menyengir kuda. “kamu mau, nih aku
ambilin ya” jawabku sambil mengambil piring. “hahaha.. tidak, aku sudah
makan, kau saja sana gendut” sahut Alvi sambil tertawa terbahak bahak. “
ya sudah” jawabku kembali sambil membuang muka. Tak berapa lama
kemudian, sarapanku habis lalu Alvi mengajakku bermain games.
“sudah kan, ayoo main sekarang” ajak Alvi semangat.
“aduh, sebentar dong. Perutku penuh sekali ini” sahutku lemas karena kebanyakan makan.
“ah ayolah, makanya jangan makan banyak-banyak. Kalau gitu kapan mau dietnya” ujar Alvi menyindirku.
“ya sudah ya sudah.. ayoo mau main apa?” ajakku masih malas.
“Vietcong yuk tempur tempuran” jawab Alvi semangat seperti pahlawan jaman dulu.
“hah, okedeh” sahutku sambil menyalakan laptop milik ayah.
Kemudian,
aku dan Alvi bermain games kesukaan kami berdua. Kami bermain
bergantian, besar besaran skor, dll tidak berapa lama ibunya Alvi
memanggilnya untuk pulang. “Assalamualaikum, ada Alvinya gak?” Tanya
ibunya Alvi sambil tersenyum denganku. “ada-ada.. Alvi! ibumu mencarimu”
kataku kepada Alvi yang sedang asyik bermain. “iya.. sebentar lagi,
emangnya kenapa?” Tanya Alvi. “aku tidak tau, sana kamu pulang dulu.
Kasian ibumu” ujarku sambil mematikan permainan. “huh… iya iya” sahut
Alvi beranjak pulang kerumahnya.
Tak berapa lama, Alvi
mengagetkanku saat aku sedang asyik melanjutkan permainan yang sedang
aku mainkan. “Alma!!” panggil Alvi sambil menepuk pundakku. “Apa??”
jawabku kaget. “aku pengen bilang sesuatu nih, hentikan dulu mainannya”
ujar Alvi. “iya!!” jawabku agak kesal. “jadi gini.. dengarkan ya…
ternyata aku akan pindah 3 hari lagi” cerita Alvi. “hah? Kok
dipercepat??” sahutku memotong pembicaraan Alvi. “aku juga tidak tau,
kau sudah memotong pembicaraanku saja. Sudah ya aku harus pulang ini..
bye!” ujar Alvi beranjak keluar rumah. “tunggu!! Kau serius??” tanyaku
dengan penuh ketidak percayaan. “serius.. dua rius malahan” jawab Alvi
sambil memakai sandal. “oh ok.. bye!!” sahutku kembali. Setelah Alvi
pulang kerumahnya, aku langsung lari masuk kedalam kamar & mengunci
diri. Aku tidak tau apa yang harus kulakukan sedangkan sahabatku sendiri
ingin pindahan. Terlintas dipikiranku untuk memberikan Alvi sahabatku
sebuah kado yang mungkin isinya bisa membuat Alvi mengingat persahabatan
antara kita selamanya walaupun sampai akhir hayat nanti kita tak akan
dipertemukan lagi. Ku ambil buku diary & kutuliskan cerita-cerita
persahabatanku dengan Alvi. Tak lama kemudian , terpikirkan suatu hadiah
yang akan kukasih dihari dia pindahan nanti lalu, aku ambil uang
simpanan yang kusimpan didompetku & ku piker-pikir uangnya cukup
untuk membelikan hadiah untuk Alvi.
Besoknya sehabis pulang
sekolah, aku langsung berlari ke toko sepatu dekat rumahku. Ku
lihat-lihat sepatu yang cukup menarik perhatianku, tiba-tiba ada seorang
bapak-bapak yang menghampiriku.
“hai nak, kamu mencari sepatu apa?” Tanya seorang bapak yang menurutku adalah pemilik took sepatu tersebut.
“i..iya pak, maaf ada sepatu futsal tidak?” tanyaku sambil celingak celinguk kesegala rak sepatu.
“oh,
ada kok banyak.. untuk apa? Kok perempuan nyari sepatu futsal?” Tanya
pemilik sepatu itu sambil tertawa melihatku yang masih polos.
“bukan untukku pak, tapi untuk sahabatku” jawabku dengan polosnya.
“teman
yang baik ya, memangnya temanmu mau ulang tahun?” Tanya pemilik toko
itu. Entah kapan pemilik toko itu berhenti bertanyaku.
“iya” jawabku berbohong karena tak mau ditanya-tanya lagi.
“ok,
sebentar ya. Bapak ambilkan dulu sepatu yang bagus untuk sahabatmu”
ujar pemilik toko sepatu itu sambil berjalan ke sebuah rak sepatu.
“sip, pak” sahutku.
Tak lama, si pemilik toko sepatu itu kembali sambil membawa sepasang sepatu futsal.
“ini nak!!” kata pemilik toko sepatu itu.
“wah bagus sekali, berapa pak harganya?” tanyaku sambil melihat lihat sepatu yang dibawa oleh si pemilik toko itu.
“bapak
kasih murah nak untukmu.. ini aslinya Rp. 60.000 jadi kamu bayar
Rp.20.000 saja nak” jawab si pemilik toko itu sambil tersenyum.
“terima kasih banyak pak, ini uangnya” sahutku.
“iya nak, sama-sama” ujar sipemilik toko tersebut.
Setelah
itu, aku kembali kerumah & mulai membungkus kado untuk Alvi.
Mungkin ini hadiahya tidak seberapa, kutuliskan juga surat untuk Alvi.
Malamnya
aku masih memikirkan betapa sedihnya perasaanku nanti jika sahabatku
pindah pasti tidak bisa bermain bersama lagi seketika air mataku menetes
& tiba-tiba ibu mengetuk pintuku. “Alma, ayo kerjakan dulu PRmu
nanti kemalaman” ujar Ibu dari depan pintu kamar tidurku. “i..iya”
sahutku sambil mengelap tetesan air mata yang membasahi buku yang sedang
aku baca. Saat itu pikiranku masih campur aduk entah harus senang,
sedih atau apa. Aku tidak bias konsen mengerjakan PR malam itu.
Besoknya
disekolah, aku sering bengong sendiri sampai-sampai guruku bertanya
kenapa aku seperti itu. Ku jawab saja dengan jawaban yang sangat singkat
karena aku sedang memkikirkan bahwa besok lah dimana aku akan berpisah
dengan sahabatku sendiri. Sepulang sekolah, aku langsung berlari
memasuki kamar lagi, mengurung diri hingga malam. Tiba-tiba ada yang
mengetuk pintu rumahku & kuintip lewat jendela kamar. Tak lama
kemudian juga Ibu memanggilku untuk keluar kamar sebentar.
“Alma, ayoo keluar sebentar. Ada Alvi nih” ajak ibu sambil membuka pintu kamarku.
“iya…” jawabku beranjak keluar kamar.
“nah kamu sudah disini, jadi begini besok kan Alvi mau pindah ayoo berpamitan dulu” ujar ibuku.
“Alma!!”
peluk ibunya Alvi kepadaku. “maafin tante sama Alvi beserta keluarga ya
jika punya salah sama kamu, ini tante ada sesuatu buat kamu” kata
ibunya Alvi sambil memberiku sekotak coklat.
“i..i..iya” sahutku tak bisa menahan perasaan & sejenak kuingat bahwa aku juga punya hadiah untuk Alvi.
“Alvi, ini ada hadiah buat kamu. Terima ya” ujarku mulai menangis.
“iya. Alma jangan nangis dong” jawab Alvi.
“aku..” sahutku semakin sedih.
“sudah kamu tidak usah sedih nanti suatu saat kalian bisa ketemu kembali kok, ibu yakin” kata ibu sambil menghapus air mataku.
“ya
udah, Alma jangan nangis ya… oh iya ini tante kasih no telp. Tante biar
nanti kalau Alma kangen sama Alvi bisa sms atau telepon ya” ujar ibunya
Alvi sambil menghapus air matanya pula yang hendak menetes.
“iya..” jawabku sambil masih menangis.
Malam
pun tiba, Alvi dan keluarganya pun berpamit & harus segera pulang.
Aku pun kembali ke tempat tidur & mulai menangis. Ku gigit bantal
yang ada didekatku tak tahan aku melihat hal tadi.
Esoknya, tepat
dipagi hari. Suara mobil kijang mengagetkanku & bergegas aku
keluar. Ku lihat Alvi & keluarganya sudah bersiap-siap untuk
berangkat, tubuhku mulai lemas ibu pun mengagetkanku untuk segera
bersiap siap sekolah. Sebenarnya aku ingin tidak sekolah dulu hari itu
tapi bagaimana juga pendidikan yang utama. Aku bergegas kesekolah tapi
sebelum itu, aku berpamitan dengan Alvi lagi.
“Alvi!!” panggilku dari jauh.
“Alma!!” jawabnya sambil mendekatiku.
“jaga
dirimu baik baik disana ya kawan, semoga banyak teman-teman barumu
disana & jangan lupakan aku” ujarku mulai meneteskan air mata.
“iya, kamu tenang. Kalau kamu sedih kepergianku ini tidak akan nyaman” sahutnya sambil memberiku tissue.
“iya… terima kasih” jawabku kembali sambil menghapus airmata dengan tissue yang diberikan oleh Alvi.
“oh
iya Alma, thanks ya buat kadonya itu bagus banget… aku juga udah baca
suratnya… terima kasih banyak ya… akan kujaga terus kado mu” ujar Alvi
menatapku.
“iya.. sama-sama karena mungkin itu kado terakhirku untukmu kawan” sahutku sambil tersenyum tak menunjukkan kesedihan lagi.
“kau
memang sahabat terbaikku selamanya” kata-kata terakhir Alvi yang ia
ucapkan kepadaku. Disitulah aku berpisah & disitulah aku harus
menempuh hidup baru, juga makna dari sebuah persahabatan tanpa menilai
kekurangan seorang sahabat.
~Selesai~
PROFIL PENULIS
Hi~
my name is Nurul Alma Febriyanti, but you can call me Alma. I was born
on 13th of February 1999. this is my first short story telling that I
have been published. I hope all of you like my short story... enjoy it!
;D and if you want to know more of me, you can follow my twitter
>> @alma_fbrynt
Titipan Manis Dari Sahabat
Oleh : Chacha
Nurul, panggilan untuk seorang sahabat yang terpercaya buat Caca.
Nurul yang kocak dan tomboy itu, sangat berbeda dengan karakter Caca
yang feminim dan lugu. Mereka bertemu di salah satu asrama di sekolah
mereka.
Saat dihari jadi Caca, Nurul pamit ke pasar malam untuk mengambil
sesuatu yang sudah dipesan buat sahabatnya itu. Caca menyetujuinya, dia
pun menunggu Nurul hingga tengah malam menjelang. Caca yang mulai
khawatir terhadap Nurul menyusul kepasar malam, hingga dia melihat yang
seharusnya dia tidak lihat . Apa yang dilihat Caca? Dan apa yang terjadi
dengan Nurul?
“Aku luluuuuuus…” Teriak beberapa orang anak saat melihat
papan pengumuman, termasuk juga Marsya Aqinah yang biasa disapa Caca.
“Ih…nggak nyangka aku lulus juga, SMA lanjut dimana yah?”
Ujarnya kegirangan langsung memikirkan SMA mana yang pantas buat dia.
“Hai Ca, kamu lanjut dimana ntar?” Tanya seorang temannya
“Dimana ajalah yang penting bisa sekolah, hehehe” Jawab Caca asal-asalan
“Oooo…ya udah, aku pulang dulu yah”
“Yah, aku juga dah mau pulang”
Sesampainya dirumah Caca…
Caca memberi salam masuk rumahnya dan langsung menuju
kamar mungilnya. Dalam perjalanan menuju kamarnya, dia melihat Ayah dan
Ibunya berbicara dengan seorang Udstazt ntah tentang apa. Caca yang cuek
berjalan terus kekamarnya. Tak lama kemudian Ibu Caca pun memanggil….
“Caca…Ayah ma Ibu mau bicara, cepat ganti baju nak”
“Iya bu, bentar lagi” Jawab Caca dari dalam kamarnya.
Akhirnya Caca pun keluar…
“Napa bu?” Tanya sambil duduk disamping Ibunya
“Kamu lulus?” Tanya Ibunya kembali
“Iya dong bu, nama Caca urutan kedua malah. Pasti Caca
bebas tes kalo masuk di sekolah ternama deh” Jawab Caca percaya diri
“Alhamdulillah, ehm…” Ucapan Ibu terhenti sejenak
“Kenapa bu? Bukankah itu bagus?” Tanya Caca lagi sambil melihat Ibunya
“Gini nak, kamu dak mau masuk asrama?” Tanya Ibu Caca sangat hati-hati
“Loh ko’ ada asrama-asramaan sih bu?” Ujar Caca yang tanggapannya tentang asrama kurang bagus
“Di asrama itu bagus Ca, bisa mandiri dan yang lebih
bagus lagi bisa tinggal bareng teman-teman, tadi udstdz tadi ngomong
kalo pendidikan agamanya disekolah asrama juga bagus” Kata Ayah Caca
menjelaskan dan berusaha mengambil hati anaknya itu
“Yaaaah ayah, terserah deh” Ucap Caca pasrah tidak ada niat untuk melawan ayahnya tersayang
2 bulan telah berlalu, setelah mengurus semuanya untuk memasuki asrama…
Caca pun memasuki sekolah asrama yang telah diurus oleh
Ayahnya, Caca berjalan di serambi-serambi asrama bareng Ayah dan Ibunya
menuju asrama yang telah ditunjukkan untuknya. Akhirnya sampai juga….
“Ayah, ini asrama Caca?” Tanya Caca dengan raut wajah yang tidak setuju
“Iya, kenapa?” Jawab Ayah Caca dan kembali bertanya
“Tidak kenapa-napa ko’, namanya juga belajar mandiri”
Ucap Caca tidak menginginkan kata-katanya menyinggung Ayahnya.
“Jadi ayah tinggal nih?”Ujar Ayah Caca
“Iya ayah, Caca kan mau mandiri masa’ Caca nyuruh ayah nginap juga sih?” Kata Caca sedikit bercanda
“Ya Udah, Ayah tinggal dulu”
“Baik-baik ya anak Ibu, jangan nakal” Ujar Ibu berpesan
Akhirnya beliau pergi juga setelah cipika cipiki,
sekarang tinggal Caca yang merasa asing terhadap penghuni kamar 2 itu.
Ada 4 orang termasuk Caca, yang 2 orang lainnya pun merasa seperti yang
dirasakan Caca, kecuali cewe’ ditempat tidur itu kaya’nya dia senior
deh.
“Hai..Siswi baru juga yah?” Tanya Caca ke seorang yang agak tomboy tapi berambut panjang lurus
“Hai juga..Iyah aku baru disini, namaku Nurul Utami, bisa
dipanggil Nurul dan itu kaka’ aku Salsabila udah setahun disini” Jawab
orang itu menjelaskan tanpa diminta dan mengaku dirinya bernama Nurul,
sambil menunjuk kearah seorang yang tidur-tiduran tadi.
“Aku Marsya Aqinah, bisa dipanggil Caca. Ooo pantas
reaksinya biasa-biasa aja ama nih kamar, trus yang ntu sapa?” Tanya Caca
lagi sambil menunjuk ke orang yang lagi asik membereskan baju-bajunya
kelemari mungilnya
“Ntah lah, orang baru juga tuh” Jawab Nurul berjalan mendekati orang yang dimaksud Caca
“Hai aku Nurul, itu temanku Tata dan itu kaka’ku Salsa,
kamu siapa?” Tanya Nurul dengan cerewetnya plus asal-asalan.
“Woi…aku Caca, bukan Tata” Teriakku protes sambil manyun-manyun
“Iya..iya.., itu Caca. Kamu belum jawab nama kamu sapa?” Tanya Nurul lagi
“Aku Miftahul Jannah, bisa dipanggil Mita” Jawab Mita
dengan senyuman yang muanis sangat. Nurul pun membalas senyum itu dengan
senyuman yang hangat pula dan sikap yang sangat bersahabat.
Sekarang Caca tau kenapa dia akan betah di kamar asrama
ini, yah karena ada Nurul yang gokil banget. Suatu ketika Caca lagi
nggak semangat, pasti ada Nurul dengan sikap konyolnya membuat Caca
tertawa. Dan disaat Caca lagi mengalami kasmaran ada Nurul sebagai teman
curhatnya. Seperti saat ini….
“Rul, ada nomer baru neh masuk dihape aku, katanya nama
dia Ical, dia kenal aku dah lama dan sekarang dia cari rimba aku dimana
gitu” Cerita Caca membuat Nurul kelepasan
“Ha..ha..ha..ha..ha..ha.., beritahu aja dari hutan rimba”
“Nurul, aku serius tau”
“Aku duarius, ha..ha..ha”
“Nurul kamu ngebete’in”
“sori.. sori.., gini.. kamu jangan langsung termakan
gombal dia gitu, ntar dijahatin baru tau rasa” Ucap Nurul menasehati,
mirip ibu-ibu ‘hihihi’
“Ntar kalo aku termakan gombal, yah minum ajah teh botol
sosro” Ujar Caca dengan lagak menirukan iklan yang di TV dan bisa
membuat Nurul jengkel
“Kamu ini diseriusin malah becanda”
“Duluan juga kamu Rul, ha..ha..ha..” Kata-kata Caca
rupanya membuat malapetaka bagi dirinya itu, yakni dengan adanya serbuan
bantal dari Nurul. Kedua sahabat itupun saling lempar-lempar bantal
hingga akhirnya mereka kecapean dan tertidur juga.
“Damainya dunia kalo mereka tidur” Ujar Salsa kaka’ Nurul yang dari memperhatikan mereka
Seminggu kemudian……..
“Nuruuuul, tau ga’ aku jadian ma Ical pagi ini. Rupanya
tuh orang temen aku dari SMP, aku jadiannya di café punya Meri, ih
senang deh” Cerita Caca
“Eh cepat banget, tapi baguslah,ehmm awas kalo dia kurang
ajar, ntar aku yang ngajarin dia, he..he..he..” Tanggap Nurul
senyum-senyum
“Siplah, eh Ical punya teman cuakep abis, aku comblangin ke kamu yah” Usul Caca
“Nggak Ah, masih senang dengan masa juomblo” Kata Nurul
“Jomblo, bukan juomblo” Ucap Caca membenarkan
“Iya…iya…yang itulah, he..he..he..” Kata Nurul
“Kamu harus kenalan ma Ical, supaya sahabatku bisa ngedukung sepenuhnya” Ujar Caca
“iya..iya.. Ntar kalo dia nelfon, kenalin aja ke aku” Ucap Nurul mengangguk-angguk
Begitu seterusnya, Caca curhat terus tentang Ical ke Nurul, memperkenalkan Ical ke Nurul, hingga tak terasa berjalan 2 bulan
“Nuruuuuuuuuuuuuul… bangun bangun banguuuuun, dah magrib”
Teriakan Caca ditelinga Nurul itu betul-betul memekakan telinga.
“Apaan sih Ca? Udah bangunin orang tanpa pamit, belom gosok gigi lagi” Ujar Nurul jengkel
“Sori dori ye…ini Rul si Ical sms neh katanya ada kejutan
buat aku. Duh apa yah?” Tanya Caca nutup mukanya sendiri
“Meneketehe…” Jawab Nurul cuek abis angkat bahu
“Ih Nurul, tanggapin donk. Buat sahabat kamu dikit senang bisa nggak sih?” Kata Caca mengguncang tubuh Nurul
“Caranya?” Tanya Nurul sambil menguap
“Puji ke’ ato apalah, yang penting aku bisa senang giitu” Jawab Caca milih-milih
“o iya, ada cara” Kata Nurul tiba-tiba
“Nah tuh kan ada” Ujar Caca menunggu sambil senyum-senyum
“Iya ada, bantu beresin lemari buku aku” Ucap Nurul membuat Caca manyun
“Ga da yang lain yah?” Tawar Caca
“Ga da, ayolah Ca… Aku juga punya kejutan buat kamu
besok, gimana?” Ucap Nurul kembali menawar sambil bangun dari tempat
tidurnya
“Okelah…demi kejutan” Kata Caca menyetujui
Mereka berdua pun membereskan lemari buku milik Nurul. Terlihat Nurul
memutar otaknya, memikirkan apa yang akan diberikan untuk sahabatnya
besok. Yah besok hari jadi Caca yang ke-17 biasa juga disebut sweet
seventeen, dimana Caca memasuki awal umur yang dewasa, jadi harus
sesempurna mungkin. Sementara itu Caca yang selagi membereskan buku-buku
Nurul dengan susunan yang rapi, sinar matanya malah terpaut pada satu
buku lucu, imut dan wow…! warna pink, kesukaan Caca banget. Caca tidak
menyangka kalau Nurul peranakan tomboy itu pelihara buku yang imut
banget. Caca mengambil buku itu dan membaca sampulnya “My DiarY”. Caca
senyum-senyum, pikirnya bahwa bisa juga cewe’ setomboy Nurul punya
diary.
“Rul, diary kamu nih?” tanya Caca
Nurulpun balik “Iya…diary aku banget”
“Buat aku ya Rul” Pinta Caca dengan sejuta raut wajah imutnya
“Kamu mau?” Tanya Nurul
“Ya iyalah, ga’ mungkin dong aku minta kalo aku kaga’ mau” Jawab Caca berpanjang lebar
“Ntar aku selesaiin isinya baru aku kasi ke kamu” Ujar Nurul
“Ayolah Rul” Rengek Caca yang super manja
“Aku janji Ca, buku tuh pasti kamu miliki. Sini bukunya” Pinta Nurul usai berjanji
“Nurul pelit” Kata Caca ngambek
“Aku kan dah janji Ca”
“Janji yah?” Ujar Caca meyakinkan sambil mengacungkan kelingkingnya
“Janji..! Lanjut yuk” Kata Nurul Sambil mengapit jari Caca dengan jari kelingkingnya
“Iyah…Eh, Rul besok ada PR. Kamu dah jadi belom?” Tanya Caca kemudian
“Belom, aku nyontek punyamu boleh?”
“Ya boleh lah”
“Aku juga titip besok dikumpulin, boleh?”
“Boleh…eh mangnya kamu mau kemana Rul?” Tanya Caca lagi
“Anak kecil ga boleh tau” Jawab Nurul
“Uh…k’ Salsa, Nurul besok mau kemana?” Tanya Caca ke Salsa yang sedang tidur-tiduran
“Ga tau juga” Jawab Salsa angkat bahu
“Berarti k’ Salsa anak kecil juga donk, hi..hi..hi..” Bisik Caca sambil cekikikan
“Udah, kalian tidur. Ntar penjaga asrama kontrol, tau ga tidur dimarahi loh” Ujar Salsa
“Eh…Mita dimana k’?” Tanya Nurul ke Salsa
“Tadi pamit ke asrama sebelah nginap” Keburu Caca jawab
“Sapa juga yang nanya kamu?”Tanya Nurul
“O…bukan aku yah? Abis panggil kaka’ sih, kira aku. He..he..he” Kata Caca
“Anak kecil bisanya ngerasa doank” Ujar Nurul mencibir
“Biarin…weak…aku bobo duluan yah?”Kata Caca sambil menguap dan bersiap-siap ditempat tidurnya
“Akhirnya tenang juga” Ucap Nurul seakan-akan kekacauan
sudah berakhir. Diapun bergegas ke tempat tidurnya dan membuka buku
diarynya, dia menulis sesuatu dibukunya itu. Malam semakin larut, Nurul
melihat jam wekernya yang menunjukkan pukul 01.30, lama kemudian
akhirnya tertidur juga sesudah dia merapikan buku diarynya dan menyimpan
di bawah bantalnya.
Keesokan harinya…….
Hari itu tampak cerah, Caca pergi kesekolah tanpa ditemani
Nurul tidak seperti kemarin-kemarin. Nurul mesti pergi kesuatu tempat
yang penting dan Caca tak boleh tau rencananya itu. Caca disekolah yang
sebangku dengan Nurul mesti memeras otak sendiri tanpa ada teman yang
diajak diskusi. Sampai bel pulang sekolah pun berbunyi, belum ada kabar
dari Nurul. Salsa yang ditanya hanya angkat bahu.
“Duh dah sore gini ko’ Nurul belum hubungi aku sih?”
Gumam Caca sambil mencet-mencet hape dan ketika nomor Nurul yang
didapat, Caca pun berniat menelpon
“Nomor yang anda tuju…..” Jawaban telpon di seberang
langsung ditutup oleh Caca sambil berceloteh “Operator, dimana tuh
orang? Nomer dak diaktifin lagi”
Caca pun masih sabar menunggu hingga malam pun larut.
“Aku harus nyusul Nurul nih” Ujarnya sambil narik swetearnya dari
jemuran dan pamit ke Salsa. Caca naik angkot ke pasar malam, dalam
perjalanan pun dia rasa melihat 2 seorang yang sangat dia kenal di
sebuah cafe. Caca langsung turun dengan muka yang merah padam menahan
marah, setelah membayar angkot. Caca langsung menuju tempat duduk 2
orang tadi.
“Nurul!!! Ical!!! ini yah kejutan dari kalian berdua
untuk aku? Oke aku terkejut, sangat terkejut!!! Ical kita putus, dan
kamu Rul. Percuma aku khawatirkan orang yang rebut pacar sahabatnya
sendiri” Gertak Caca blak-blakan tanpa memberi kesempatan Nurul dan Ical
bicara, Caca langsung pergi dari café itu dan naik angkot pulang
keasramanya.
Caca tak mau tau lagi apa yang akan terjadi setelah ini,
Caca tiba diasrama dan langsung mehempaskan diri ketempat tidurnya
sambil menangis sekuat dia, Salsapun berniat mendekat tapi bersamaan
dengan itu, hape Salsapun berbunyi.
“Halo?” Ujar Salsa yang tampak berbicara serius dengan penelpon diseberang
“Iyah saya segera kesana” Kata Salsa mengakhiri
pembicaraannya dengan penelpon tadi dan bergegas memberitahukan Caca
“Ca, Nurul lagi……” Kata-kata Salsa terputus saat Caca
memberi tanda untuk menyuruh Salsa pergi. Tanpa pikir panjang Salsa pun
pergi dengan mata sembab, Caca tak tau apa alasannya yang jelasnya saat
itu Caca merasakan sangat sakit didadanya. Salsa yang bergegas naik
angkot itu sengaja mengirim pesan singkat ke hape Caca
Triiit…triiit… Caca mengambil hapenya dan membaca isi pesan itu
“Ca, Nurul masuk UGD, kalo kamu mau datang, langsung saja di RS Urip Sidoarjo ruang UGD”
Caca mulai khawatir, biar bagaimana pun Nurul masih
sahabatnya, dia langsung melupakan sakit yang tengah melanda dadanya itu
dan bergegas menyusul ke rumah sakit yang disebutkan Salsa.
Sepanjang perjalanan Caca berusaha menahan air matanya yang dari tadi
mengalir sambil bergumam, “Nuruuul, kenapa sih kamu tega hianati aku?,
kita memang sering becanda tapi ini lain, Rul. Aku sakit saat aku tau
kamu hianati persahabatan kita. Sekarang ada kejutan apa lagi? Tadi aku
liat kamu baik-baik aja bareng Ical, tapi kamu ko bisa masuk UGD sih?
aku harap ini bukan permainan kamu semata hanya untuk minta maaf padaku.
Ini tidak lucu lagi”
Sesampainya dirumah sakit……
Caca langsung berlari menuju ruang UGD, Caca mendengar tangisan histeris yang keluar dari mulut Salsa.
“Ada apa ini?” Gumam Caca yang membendung air mata, dia
memasuki ruangan itu. Pertama dia melihat Ical dengan sebuah bungkusan
imut ditangannya, “Pasti dari Nurul” pikir Caca. Sakit hatinya kembali
muncul, lama dia pandang Ical hingga Ical berusaha mendekatinya tapi
dengan tatapan sinis memendam rasa benci, Caca meninggalkan Ical yang
matanya telah sembab. Cacapun berpikir bahwa sandiwara apa lagi yang
Ical perlihatkan ke dia. Caca menarik nafas dalam-dalam dan kembali
berjalan menuju tempat tidur yang terhalang tirai serba putih, Cacapun
mengibaskan tirai itu, dia lihat disitu ada Salsa dan……
“Nuruuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuul……” Teriak Caca histeris,
serasa remuk tulang-tulang Caca saat melihat ditempat tidur diruangan
UGD itu, terbaring seorang gadis tomboy, muka mulus tak tampak lagi,
malah yang nampak hanyalah luka-luka dan muka yang hampir tak bisa
dikenali, bersimbah darah tak bernyawa, rambut hitam lurus terurai
begitu saja seakan membiarkan tuannya melumurinya dengan cairan merah
yang mengalir dari kepala tuannya, jilbab yang tadi di kenakannya pun
tak nampak warna dasarnya karena percikan darah. Caca memeluk sahabat
yang paling disayanginya itu, ada rasa sesal dalam hatinya. Kenapa tidak
membiarkan sahabatnya itu menjelaskan apa yang terjadi sebelum dia
kelewat emosi?.
Sesaat itu ada yang menggenggaman hangat lengannya, Caca
tak menghiraukan, yang Caca pikirkan adalah rasa sesal dalam benaknya.
Pemilik genggaman itupun menarik dan memeluknya, kemudian memberikan
bingkisan imut yang ada ditangannya.
“Nih bingkisan buat kamu, kejutan ini yang dari tadi pagi
dicari Nurul dan baru dapat diluar kota, aku mengantar Nurul karena aku
juga ingin memberikan kejutan kecil-kecilan buat kamu, tapi kamu datang
saat aku dan dia merencanakan acara kejutan buat kamu” Jelas Ical
sambil memeluk Caca yang semakin berlinang air matanya saat mengetahui
apa isi dari bingkisan itu, buku diary imut, warna pink sesuai yang
dijanjikan Nurul
“Katanya kamu sangat menginginkan buku yang seperti
miliknya, nah ini tandanya dia sangat sayang sahabatnya dan ga mau
mengecewakan sahabatnya itu. Tapi tadi waktu kamu salah tanggap tentang
di café itu, dia merasa bersalah banget, soalnya dia ga pamit dulu ke
kamu sebelum minta bantuan ke aku. Dia panik karna takutnya kamu akan
menganggap dia penghianat, akhirnya diapun mengejarmu tanpa peduliin
ramainya kendaraan dan bus itu…………” penjelasan Ical terputus, dia tidak
sanggup lagi meneruskan cerita tragis yang menimpa sahabat mereka itu.
Caca pun masih membiarkan air matanya tetap mengalir di pipinya semakin
deras.
“Rul, napa mesti kamu jadi korban egonya aku?, sapa lagi
dong yang dengerin curhat aku?, sapa lagi yang bisa aku ejek? perang
bantal kita juga mesti dilanjut Rul, belum ada yang juara neh, he..he..,
eh aku juga mau ngasih contekan kekamu ko’, Rul bangun dong…jangan
becanda, ini ga lucu lagi. Sumpah ini ga lucu, Rul bangun, kamu napa
sih? sukanya buat aku panik. Rul bangun dong” Ujar Caca setelah
melepaskan pelukan Ical, senyum dan berbicara sendiri setelah itu
kembali Caca memeluk jasad sahabatnya itu dan menangis sejadi-jadinya.
Salsa mendekatinya dan memberikan sebuah buku diary milik Nurul
“Kata Nurul, kalo dia tidak dapet buku yang mirip punya dia, buku diarynya ini buat kamu” Ujar Salsa
Cacapun membuka buku kecil itu, tak sempat membaca
halaman pertama, dia membuka beberapa lembaran berikutnya, hingga Caca
pun membaca tulisan Nurul paling akhir.
13 Mei 2003, 01.00 pagi
Dear Diary…..
Aku dah
dapet sahabat, kasih sayang sahabat. Tapi aku tak dapat memberikan
apapun untuk sahabatku itu, ini hari jadi dia, dan dia menginginkan kamu
diary, mungkin saja suatu saat aku berikan kamu ke dia, tapi itu suatu
saat, hanya saja aku harus cari yang mirip denganmu untuk sahabatku. Aku
minta tolong ke Ical mungkin juga dak apa-apa yah diary, diakan pacar
sahabat aku berarti dia juga sahabat aku dong. Hahaha….hanya sebuah buku
tapi kalo dia masih menginginkan kamu diary, mau tak mau aku harus
ngasih kamu kedia. Nyawa akupun boleh yang penting sahabat aku senang,
hahaha, Lebaaaaaaaay. Ya udah dulu diary aku ngantuk neh…
Ga’ kelupaan “MET ULTAH CACA, MY FRIENDSHIP”
Nurul
Caca menutup diary Nurul, semakin berlinang air mata
Caca. Yah apapun yang Nurul akan beri untuk Caca, bahkan nyawanya
seperti sekarang yang Caca alami. Nurul takut kalo Caca menganggap
dirinya berkhianat karena sudah lancang mengajak Ical untuk
mengantarnya, hingga dia tak pedulikan lagi ramainya kendaraan dijalan
yang membuat dirinya menghadap sang Ilahi.
Esok harinya, jasad Nurulpun dimakamkan dikampung
halamannya. Setelah dikebumikan, Caca mengusap kembali nisan sahabatnya
sambil berlinang air mata. Tertulis dinisan itu “Nurul Utami binti Muh.
Awal, Lahir 14 Mei 1989, Wafat 13 Mei 2003”, sehari sebelum hari
jadinya.
“Nurul, sahabat macam apa aku, hari jadi kamu pun aku tak
tau, Rul selamat ulang tahun yah, hanya setangkai bunga dan kiriman doa
yang dapat aku beri ke kamu, istirahat dengan tenang yah sahabatku”
Ujar Caca sambil berdoa dan kemudian meninggalkan gundukan tanah yang
masih merah itu.
##SELESAI##
Rinduku Kenanganku
oleh: Rica Okta Yunarweti
Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat
daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku
pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan
sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan aku gemar
melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan
seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin
mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin
penasaran.
“Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan
lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang
berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya
mentari yang mulai redup.
* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy
berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain
basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya
tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia
bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu
pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
“Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
“Aku mencarimu! Kata Diana
“Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
“Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
“Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar
khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari
kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari
tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu
kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut
lepas.
* * *
Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya
marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat
keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati
tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas
kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia
merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak.
Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh
dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat
tidur dan beristirahat.
* * *
Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di
bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi.
Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian.
“Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
“Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman
yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka
yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain
sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
“Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
“Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia
bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar
biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari
menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar
pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
“Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
“Aku sakit apa? Mana ayah?”
“Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu.
Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,,
biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
“Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir
gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
“Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
“Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
“Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
“Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan
kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke
sini. Bye !!”
“Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"
* * *
Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis
berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola
dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
“Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
“Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
“Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
“Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada
kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar.
Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi
aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini..”
“Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik
kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap
berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
“Thengs.. siapa namamu?”
“Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut
nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai
belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring
lemah.
(Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
“Diana, kenapa kamu?”
“Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
“Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
“Ii..ia bu.”
“Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
“Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
“Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
“Ibu mau menjenguknya? “
“Iya,, nggak apa-apa kan?”
“I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa.
Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan,
walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti
perasaan orang lain.
Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula
bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas
kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu
Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan.
Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing
tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi
pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan
membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk
Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara
mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya
ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang
gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis
biola itu.
“Hai, belum pulang?" Sapa Diana
“Hmmn. Belum Diana’
“Ngapain kamu sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
“Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
“Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
“Ohh, namamu Lizy ya?”
“Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
“Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
“Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
“Hhhhaha….” Sambung Diana
* * *
Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya.
Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak
percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk
mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
“Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
“Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
“Bagaimana bisa kamu di sini Zy?”
“Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
“Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Diana
“a..ku, sakit Leukimia..”
Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani
memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam
ketika ia memainkan dasinya..
“Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
“Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
“Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia
memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya
merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau
kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama
dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
“Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
“Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
“Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang.
Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti
mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
“walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
Suasana berubah menjadi hening kembali..
“Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
“Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda
tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan
memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di
dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia
merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
“Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
“Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
“ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
“Cepat sembuh, ya”……
* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.
Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku
Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya.
Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk
melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang.
Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana
tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy
yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka
terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang
tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….
3 hari kemudian…
Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang
masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja
membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan,
peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di
atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan
Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil
mengikik heran melihatnya.
Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan
Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua
tentang kita” sambil bernyanyi.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat duu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kitaberduka saat kita tertawa
Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam
sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya
hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
“Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di
sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu
kamu, Lizy!”
“Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak
aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat
indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan,
aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
“waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian,
kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan
kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu
yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan
lupakan persahabatan kita ini ya..”
“Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas
pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing.
Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar
dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa
bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
“Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia
selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak
lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan
Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang
terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia
menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk
di tikar.
“Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
“Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
“Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
“Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu.
Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama
cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
“Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
“Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
“hhuuhh…”
Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun
diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai
kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.
* * *
Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani
rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana
laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk
menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka
berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang
biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang
secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang
perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa
Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat
Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya,
Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang
mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di
tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun
telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa
harus membeli semua obat yang diperlukan.
* * *
Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang
mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak
orang.
“Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia
membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari
Deva)
“Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
“Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu
keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran.
Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan
reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah
dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari
basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka
sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata.
Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong
lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang
merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang
tua Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva.
Menganggap mereka sebagai anaknya.
* * *
“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_
Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva.
Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka.
Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang
Kita” yang biasa mereka nyanyikan.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi
ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara
mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan
mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang
tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga.
Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat
ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi.
Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri
“Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena
fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana.
Sambil melanjutkan lukisannya.
“Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak
girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
“Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akhirnya selesai”
“Waahh..keren.!”
Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan
persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada
gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah
persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya
sekedar untuk mengenang Lintang.
SELESAI
RINDUKU KENANGANKU
oleh: Rica Okta Yunarweti
Cahaya keemasan matahari dan hembusan angin sore membuat
daun-daun kecil berguguran di pinggir danau dan menyilaukan pandanganku
pada secarik kertas di depanku. Hari-hariku terasa menyenangkan dengan
sebuah kuas yang terukir namaku “Diana”. Yah, boleh dikatakan aku gemar
melukis di tempat-tempat yang menurutku indah dan tenang. Apalagi dengan
seorang sahabat, membuat hidupku lebih berarti.
Dari kejauhan terdengar alunan biola nan merdu semakin
mendekati gendang telingaku. Alunan merdu itu membuatku semakin
penasaran.
“Ya sudahlah, mungkin hanya perasaanku saja”
Dengan rasa penasaran, aku sambil mengemas peralatan
lukisku dan mengendarau sepeda menyusuri jalan komplek rumahku yang
berbukit dan rindangnya pepohonan sepanjang jalan di bawah cahaya
mentari yang mulai redup.
* * *
Pulang petang menjadi hal yang biasa bagi Lintang. Seorang gadis tomboy
berambut hitam panjang yang selalu di kuncir ke atas. Dia selalu bermain
basket di bawah rumah pohonnya, letaknya di samping danau yang airnya
tenang, setelah pulang dari les. Dengan mengusap keringat di pipinya dia
bergegas menyusuri komplek rumahnya dengan perasaantakut karena selalu
pulang telat.
Pada waktu yang bersamaan, Diana meletakkan sepedanya ke garasi dan melihat Lintang.
“Lintang,, Lintang,, dari mana saja kamu?
“Aku mencarimu! Kata Diana
“Aku main basket di tempat biasa, di bawah rumah pohon. Ma’af, udah buatmu khawatir.”
“Entahlah…. Sudah dulu ya, bau banget nih.
“Huuhh,, dasar cewek gadungan, aku dicuekin lagi…! Kesal Diana
Dengan rasa kesal, gadis itu pun masuk ke kamar
khayalannya. Meletakkan peralatan lukisnya di sudut ruangan dekat lemari
kaca yang penuh dengan boneka kucing dan patung kecil yang terbuat dari
tanah liat. Ia selalu menatap lukisan sunset yang di belakang pintu
kamarnya. Ketika melihat itu, ia merasakan tenangnya dunia di laut
lepas.
* * *
Lintang segera membersihkan dirinya karena takut ibunya
marah. Ibunya pun heran melihat tingkah anak semata wayangnya itu. Sifat
keras kepala Lintang yang biasanya tampak, namun kala itu hati
tomboynya bisa luluh dengan rasa bersalahnya. Ketika ia duduk di atas
kursi yang tinggi sambil mengamati indahnya malam. Tiba-tiba ia
merasakan sakit pada badannya, perutnya nyeri dan nafasnya terasa sesak.
Lintang bingung dengan apa yang dia rasakan dan tiba-tiba ia terjatuh
dari kursi tingginya, mencoba mengendalikan diri untuk bangkit ke tempat
tidur dan beristirahat.
* * *
Teriknya mentari dan angin sepoi-sepoi yang dirasakan di
bawah pohon nan rindang, membuat siswi SMA ini hanyut dalam omajinasi.
Khayalan yang sungguh nyata membawa ia larut dalam impian.
“Hai Diana, asyik bener nih melukisnya, lihat dong. Pasti lagi gambar aku kan? Kejut Lintang
“Hmm,, ngapain juga aku gambar kamu. Seperti gak ada objek lain aja yang lebih bagus.. hahahha..
Mereka begitu asyik bercanda tanpa menghiraukan teman
yang lain di sekitarnya yang merasa kebisingan karena tingkah mereka
yang sungguh beda dengan siswi lainnya. Dan anak-anak yang lain
sebaliknya sudah merasa biasa dengan sikap mereka itu.
“Aku mau cerita..tapi……….(serius Lintang_
“Cerita aja…ada apa? ( menatap Lintang kebingungan)
Tiba-tiba, Lintang terjatuh. Kata-kata yang ingin ia
bicarakan tidak mampu terucap. Kepanikan gadis seni ini sungguh luar
biasa. Ketika di ruang UKS, Lintang terbaring tak berdaya. Diana berlari
menyusuri kelas dan mencari telepon di sekolahnya. Untuk memberi kabar
pada orang tua Lintang dan membawanya ke rumah sakit..
“Aku ada di mana? Ada apa denganku? ( sadar Lintang)
“Kamu ada di rumah sakit. Kamu tadi pingsan di taman belakang sekolah. Kamu nggak apa-apa kan? (khawatir Diana)
“Aku sakit apa? Mana ayah?”
“Dokter masih belum memberitahukan pasti penyakitmu.
Ayahmu masih dalam perjalanan. Bersabarlah sebentar. Cepat sembuh ya,,
biar sore ini kita bisa belajar bareng, kan kamu udah janji kemaren.”
“Mungkinkah penyakitku itu serius?””ahh, jangan berpiir
gitu, kamu pasti sembuh. Semangatlah, aku akan ada di sampingmu..”
“Sudah, sekolah sana. Biar pintar, dan bisa membalap rangkingku. Hhaha…”
“Iihh,, kamu. Calon ilmuan gini diejekin. Pasti dong aku bisa. Hhehe”
“Ya deh,, buktikan ke aku ya nanti.”
“Iya, pasti. Suatu saat kita akn merayakan keberhasilan
kita. Aku ke sekolah dulu ya.! Sebentar lagi, orangtuamu juga akan ke
sini. Bye !!”
“Bye.. Hati-hati ya Diana. Thank’s!"
* * *
Jalan lorong sekolah tampak sepi, hanya ada seorang gadis
berambut hitam pendek duduk di depan kelas musik sambil membawa biola
dengan wajah yang tampak murung, Diana segera menghampirinya.
“Hai, kenapa kamu sendiri? Nggak masuk kelas?” Tanya Diana heran
“Hmm, aku.. aku.. mau sendiri di sini aja.”
“Jangan seperti anak kecil, ayolah masuk. Tapi, apa yang membuatmu sedih?” penuh heran
“Tadi, ketika ada pemilihan bakat pemain biola, aku ada
kesalahan memainkan nada, sampai-sampai alunannya nggak enak didengar.
Mereka menertawakanku, padahal aku baru saja pindah ke sekolah ini jadi
aku masih belum pandai memainkan alat musik seperti biola ini..”
“Kamu sudah hebat kok, kamu bisa memainkan alat musik
kesukaanku, dan aku… aku hanya bisa menggambarnya. Yang penting, tetap
berjuang!! Daah..aku ke kelas dulu ya..”
“Thengs.. siapa namamu?”
“Diana!" Teriaknya.. (sambil berlari)
Nafas yang terengah-engah membasahi wajah gadis lembut
nan periang itu. Diana segera masuk ke kelas lukisnya yang sudah mulai
belajar. Sambil menyapu keringatnya, teringat sahabatnya yang terbaring
lemah.
(Mungkinkah kami akan terus bersama?) dalam hatinya berkata.
Ibu Tari masuk ke kelas tiba-tiba. Meihat Diana yang sedang melamun segera menghampirinya.
“Diana, kenapa kamu?”
“Ohh.. Ibu. nggak apa-apa bu.”
“Kamu bohong, da masalah ya? Tidak biasanya kamu seperti ini!”
“Ii..ia bu.”
“Memangnya ada apa, sampai-sampai mengganggu pikiranmu seperti ini?’
“Sahabatku, Lintang. Dia masuk rumah sakit dan sepertinya penyakitnya parah.”
“Ohh,, Lintang ya. Gimana kalau sepulang sekolah kita menjenguknya” ajak bu Tari
“Ibu mau menjenguknya? “
“Iya,, nggak apa-apa kan?”
“I..ya. nggak masalah.” Semangat Diana
Ibu Tari adalah guru yang paling disukai banyak siswa.
Tak kadang banyak siswa yang curhat. Beliau memiliki jiwa keibuan,
walaupun beliau belum menikah. Beliau sangat perhatian dan mengerti
perasaan orang lain.
Ibu Tari memberi semangat Diana, membuat ia semangat pula
bertemu Lintang. Ia menyelesaikan lukisan pemandangan dengan kuas
kesayangannya. Kali ini, ia mendapat pujian dari teman-teman dan bu
Tari. Sampai-sampai lukisannya akan diikutkan dalam pameran lukisan.
Lukisannya menggambarkan eorang gadis berkerudung duduk di atas tebing
tinggi yang dihantam ombak di tepi pantai. Lukisan itu pun dihiasi
pantulan sinar matahari di penghujung hari. Gambarnya begitu nyata, dan
membawa dalam khayalan. Diana dan bu Tari pun berangkat menjenguk
Lintang.
Hanya mereka berdua yang masih berada di sekolah. Tak heran, suara
mereka menggema ketika lewat lorong sekolah. Diana melepas pandangannya
ke arah taman di samping lapangan basket. Ia sempat kaget ada seorang
gadis duduk di atas potongan pohon. Ketika ia hampiri, ternyata gadis
biola itu.
“Hai, belum pulang?" Sapa Diana
“Hmmn. Belum Diana’
“Ngapain kamu sendiri di sini, Zy?” Sahut bu Tari
“Lho, ibu kenal dia?” sahut Diana
“Uta, ibu kan juga mengajar kelas musik. JadI ibu kenal Lizy”
“Ohh, namamu Lizy ya?”
“Iya,, ibu mau ke mana, kok sama Diana?”
“Ibu sama Diana mau ke rumah sakit, jenguk sahabatnya Diana. Kamu mau ikut?”
“Ya,, boleh. Ayo! Panasnya terik matahari sudah mulai membakar kulit nih..” ajak Lizy
“Hhhhaha….” Sambung Diana
* * *
Diana meletakkan sekeranjang buah yang di bawanya.
Kebetulan, kapten tim basket mereka juga jenguk Lintang. Rasa tak
percaya meliputi kedua sahabat ini. Dalam keadaan yang tak mudah untuk
mereka bersenda gurau. Padahal, rame kan, semuanya pada kumpul.
“Bagaimana keadaanmu?” kejut Lizy
“Ya, lumayan lah, agak mendingan.” Dengan suara datar sambil menunduk.
Lintang mengangkat kepalanya, dan…. “Haahh,, Lizy!” teriaknya
“Bagaimana bisa kamu di sini Zy?”
“Syukurlah. Tadi aku diajak bu Tari dan Diana. Dan ternyata, yang terbaring saat ini adalah sahabatku.”
“Sebenarnya, kamu sakit apa sih?” sambung Diana
“a..ku, sakit Leukimia..”
Semuanya tercengang, tak ada seorang pun yang berani
memulai pembicaraan. Termasuk kapten basket Deva yang langsung terdiam
ketika ia memainkan dasinya..
“Kalian tak usah khawatir, di sisa umurku ini aku tak akan membuat kalian kecewa”
“Jangan bilang begitu, yakinlah kamu masih bisa bermain basket lagi..” sahut Deva
“Yaa, teruslah bersemangat. Siapa yang tahu kan takdir Tuhan. Semoga kamu cepat sembuh.” Sambung bu Tari
( Lintang terharu mengingat dan menyimpan momen ini. Ia
memejamkan matanya hingga butiran air menetes di pipinya). Semuanya
merasa iba padanya, khususnya Deva teman basketnya yang justru tidak mau
kehilangan main lawannya walaupun Diana dan Lizy merasakan halyang sama
dengannya. Bu Tari memulai pembicaraan setelah semuanya membeku.
“Hari mulai sore nih, kalian semua masih belum ada yang mau pulang?”
“Belum bu, sebentar lagi.” Jawab mereka serempak.
“Ya sudah, ibu pulang duluan. Cepat sembuh, ya Lintang.
Jangan patah semangat, kasihan sahabat dan tim basketmu, pasti
mengkhawatirkanmu. Asalamualaikum…” kata bu Tari
“walaikumsallam.. Iya bu, makasih. Hati-hati ya bu..”
Suasana berubah menjadi hening kembali..
“Aku tak ingin kehilanganmu, Lintang. Selalu ingat kata-kataku…" (bisik Diana)
“Kamu-Sahabat_Terbaikku” mereka serempak.
Hari ini terasa cukup singkat. Membawa mereka dalam canda
tawa dan kerinduan. Diana dan Lizy segera pulang membawakabar perih dan
memandang dengan rasa tak percaya. Diana teringat akan lukisannya. Di
dalam hatinya dia ingin menjual lukisan itu untuk biaya Lintang. Ia
merasa iba melihat orang tua Lintang pergi bolak balik mencari uang.
“Diana, ada apa denganmu?’ kejut Lintang
“Tidak, kami harus pulang. Hari sudah mulai gelap nih”
“ohh, ya. Besok mungkin aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku stabil”
“Cepat sembuh, ya”……
* * *
Di depan lukisannya, Diana duduk termenung sambil menulis di buku diarynya.
Malam ku sepi..
Tak sanggup ku mengungkapkan
Air mata membendung di kelopak mataku..
Walaupun aku tertawa, tapi aku tetap merasakan bila hati ini menangis melihat nya tersenyum.
Jika Engkau mengizinkan. Takkan ku biarkan ia terbelenggu…
Kamu_sahabat_Terbaikku
Ia simpan buku diarynya di tumpukkan buku pelajarannya.
Diana memikirkan solusi untuk membantu Lintang. Iameluangkan waktu untuk
melukis sebanyak-banyaknya untuk di jual tanpa sepengetahuan Lintang.
Lizy yang baru dikenalnya juga turut membantu. Tak heran, ibunya Diana
tiap hari selalu menyiapkan keperluanlukisnya. Malam semakin larut, Lizy
yang juga tampak terlihat lelah memutuskan untuk menginap. Mereka
terbaring di tempat tidur, namun tak ada salah satu dari mereka yang
tertidur.mereka sama-sama ingin merencanakan sesuatu….
3 hari kemudian…
Pohon-pohon yang menjulang tinggi disinari matahari yang
masuk dicelah-celah dedaunan yang rindang. Diana dan Lizy sengaja
membawa Lintang ke danau. Diana menggelar tikar, menyusun makanan,
peralatan lukis, dan tempat mereka duduk. Sedangkan Lizy bersiap-siap di
atas rumah pohon sambil memegang biola kesayangnnya. Namun dengan
Lintang, ia justru merasa kebingungan dengan kedua temannya itu, sambil
mengikik heran melihatnya.
Diana memulai dengan memukul kedua kuasnya menandakan
Lizy yang memainkan alunan biola yang merdu dengan lagu berjudul “semua
tentang kita” sambil bernyanyi.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Teringat di saat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita
Ada cerita tentang aku dan dia
Dan kita bersama saat duu kala
Ada cerita tentang masa yang indah
Saat kitaberduka saat kita tertawa
Ketika lagunya selesai, tiba-tiba mereka semua terdiam
sejenak. Suasana seperti di pemakaman, sepi, sunyi, hening, hanya
hembusan angin yang terdengar. Diana membuka pembicaraan.
“Dan aku baru ingat. Dulu ketika aku melukis sendiri di
sini aku kagum dan penasaran siapa yang memainkan biola ternyata… itu
kamu, Lizy!”
“Iya,, tengs. Aku sengaja memainkannya karena semenjak
aku tinggal di sini aku sangat kesepian. Dan ketika aku menemukan tempat
indah ini, setiap sore di waktu luangku, aku bermain biola. Kebetulan,
aku melihat seorang gadis sedang melukis.”
“waah.. kalian sungguh hebat! Aku juga kagum pada kalian,
kalian sendiri yang membuat acara ini dan kalian juga yang mendapatkan
kejutan. Ketika pertama kali bertemu Diana, aku juga kagum atas sikapmu
yang selalu memperdulikan teman-temanmu. Jika aku pergi nanti jangan
lupakan persahabatan kita ini ya..”
“Ah, kalian ini selalu membuatku GR. Tapi makasih ya atas
pujiannya.ku yakin, kalian juga mempunyai keistimewaan masing-masing.
Dan kamu Lintang, si cewek gadungan. Masa jiwa tomboymu yang tegar
dipatahkan dengan adanya penyakit ini. Justru dengan ini kamu bisa
bertambah tegar yang tahan bantingan.. hahaha.
“Emang aku bola, tahan bantingan. Hahaha! Ketus Lintang
Diana tak ingin membuat hati teman-temannya terluka, ia
selalu mencoba untuk tersenyum walau di hatinya sangat mengganjal. Tak
lupa, Diana melukis simbol persahabatan mereka “LiDiZy”. Dari kejauhan
Deva sedang bersepeda mengitari danau, melihat tingkah mereka yang
terlihat ekspresif dan penuh canda tawa. Tapa berpikir panjang, ia
menghampiri ketiga cewek itu sambil membawa gitarnya dan langsung duduk
di tikar.
“Eh, kamu. Udah minta izin dengan yang punya belum? Sembarangan aja duduk.” Judes Diana
“Kok gitu, sih Diana. Nggak apa-apa kok.” Bela Lintang
“Coba deh kalian lihat, dia mau ngehancurin acara kita.” Sebel Diana
“Eh kamu, bagai ratu aja. Lintang aja nggak keganggu.
Sekali-sekali dong aku ikut gabung. Kan jarang-jarang bisa dekat sama
cowok popular di sekolah. hitung-hitung kesempatan buat kalian.”
“Ya sudah, cukup. Kita nyanyi bareng lagi yuk….” Lerai Lizy
“Eh, ganti dong simbolnya jadi…(berpikir sejenak) “LiDiZyVa” kan lebih keren!” sahut Deva
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Semoga masih ada ruang untuk menulis namamu ya.. hahaha
“hhuuhh…”
Seharian mereka jalani untuk menghibur Lintang. Walaupun
diantara mereka baru saling mengenal, tapi mereka seperti mempunyai
kekuatan magnet. Hari-hari mereka selalu bersama.
* * *
Waktu yang tepat ditemukan Diana dan Lizy untuk menjalani
rencana kedua mereka. Mereka sudah mengatur strategi agar lukisan Diana
laku terjual. Hampir 2 minggu penuh mereka meluangkan waktu untuk
menjualnya. Uang yang terkumpul lumayan banyak, dan segera mereka
berikan pada orang tua Lintang tanpa sepengetahuan Lintang. Deva yang
biasanya sibuk dengan tim basketnya, akhirnya ikut membantu juga.
Di waktu yang bersamaan mereka datang ke rumah Lintang
secara tersembunyi, mereka melihat Lintang kesakitan sambil memegang
perutnya. Kekhawatiran mereka tak dapat dibendung. Mereka segera membawa
Lintang ke rumah sakit dan memberitahukan orang tuanya. Mengingat
Lintang adalah anak semata wayang orang tuanya.
Ternyata, penyakitnya bertambah parah. Sebenarnya,
Lintang pulang dari rumah sakit karena keterbatasan biaya. Uang yang
mereka dapatkan tidak cukup untuk membiayai semua pengobatan Lintang. Di
tambah lagi ayah Lintang yang hanya memiliki tabungan seadanya, itu pun
telah habis digunakan. Terpaksa, Lintang hanya bisa di opname tanpa
harus membeli semua obat yang diperlukan.
* * *
Setiap lorong sekolah kelas X ramai dipenuhi siswi yang
mendengar kabar mengenai Lintang. Anak yang tomboy dan disenangi banyak
orang.
“Hai, Diana, Lizy. Gimana keadaan Lintang? Apa dia
membaik? Kapan kalian mau menjenguknya lagi?” (pertanyaan runtun dari
Deva)
“Hello Deva, kalau nanya satu-satu dong. Kamu bukan mau wawancara kan?” jawab Diana
“Emang, kami orang tuanya? Kami juga belum tahu
keadaannya. Ayo kita jenguk aja sama-sama pulang sekolah” tegas Lizy
Bunyi bel panjang bertanda telah berakhir jam pelajaran.
Hujan yang tampak lebat, membuat para siswa harus menunggu sampai hujan
reda. Tiba-tiba handphone Deva berbunyi, padahal peraturan sekolah
dilarang membawa handphone, suara di seberang membawa berita buruk.
Hujan yang lebat tak mereka perdulikan. Mereka lari
basah-basahan menuju rumah sakit sambil menangis terisak-isak. Mereka
sangat khawatir dan tak percaya bahwa kabar itu memang benar nyata.
Sahabat mereka Lintang meninggal dunia. Nyawanya tak dapat tertolong
lagi karena penyakitnya semakin hari semakin parah. Orang tua Lintang
merasa kehilangan dan terpukul, namun semua adalah kehendak-Nya. Orang
tua Lintang juga sangat berterima kasih pada Lizy, Diana, dan Deva.
Menganggap mereka sebagai anaknya.
* * *
“Tak sempat ku berikan
Tak sempat ku sampaikan”
_LiDiZyVa_
Kalimat itu selalu melintas dipikiran Diana. Begitu pula Lizy dan Deva.
Kerasa tak percaya, kehilangan, kerinduan, tersirat dibenak mereka.
Mereka termenung di tepi danau sambil menyanyikan lagu “Semua Tentang
Kita” yang biasa mereka nyanyikan.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Akan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Belum sempat lagu itu dinyanyikan, butiran air mata membasahi di pipi
ketiganya. Orang tua Lintang tiba-tiba dating dan ikut duduk di antara
mereka. Memberikan semangat pada Lizy, Diana dan Deva bahwa masa depan
mereka juga menjadi kebanggaan orang tua angkat mereka. Ibu Lintang
tiba-tiba menyerahkan secarik kertas berwarna biru yang bergambar bunga.
Tangan Deva bergetar ketika memegang kertas itu. Rasa penasaran membuat
ia segera membuka dan membacanya seperti sedang lomba baca puisi.
Sahabatku impianku
Cita-citaku imajinasiku
Bukan hal yang salah memiliki mimpi
Bukan hal yang salah mempunyai tujuan
Tujuan seperti sinar
Kesana lah kita berlari
Dan untuk itulsh kita hidup
Tapi, terkadang sinarnya terlalu menyilaukan
Membuat kita sulit melihat
Sehingga tiba suatu saat kita harus sejenak berhenti
Untuk menghindari sinar yang ada pada kita sendiri
“Waahh, sungguh bersemangatnya dia. Aku piker karena
fisiknya lemah, jiwanya akan goyah. Tapi aku salah. Hebat!! Puji Diana.
Sambil melanjutkan lukisannya.
“Iya..”sambung Lizy sambil meneteskan air mata.
Suasana menjadi hening kembali. Kemudian Diana berteriak
girang sambil meneteskan butiran air mata yang melintas di pipinya.
“Lukisan dengan simbol “LiDiZyVa” akhirnya selesai”
“Waahh..keren.!”
Mereka menatap terpesona lukisan yang melambangkan
persahabatan ini yang terlihat indah karena di sekitar tulisan itu ada
gambar wajah mereka masing-masing. Di danau inilah sejarah
persahabatanku. Dan tempat inilah aku dan sahabatku berbagi walau hanya
sekedar untuk mengenang Lintang.
SELESAI
Sebuah Janji
Oleh: Rai Inamas Leoni
“Sahabat
selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita
kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah
padahal hati kecilnya menangis…”
***
Bel istirahat akan
berakhir berapa menit lagi. Wina harus segera membawa buku tugas
teman-temannya ke ruang guru sebelum bel berbunyi. Jabatan wakil ketua
kelas membuatnya sibuk seperti ini. Gubrak…. Buku-buku yang dibawa Wina
jatuh semua. Orang yang menabrak entah lari kemana. Jangankan
menolongnya, meminta maaf pun tidak.
“Sial! Lari nggak pakek mata
apa ya...” rutuk Wina. Dengan wajah masam ia mulai jongkok untuk
merapikan buku-buku yang terjatuh. Belum selesai Wina merapikan
terdengar langkah kaki yang datang menghampirinya.
“Kasian
banget. Bukunya jatuh semua ya?” cemoh seorang cowok dengan senyum
sinis. Sejenak Wina berhenti merapikan buku-buku, ia mencoba melihat
orang yang berani mencemohnya. Ternyata dia lagi. Cowok berpostur tinggi
dengan rambut yang selalu berantakan. Sumpah! Wina benci banget sama
cowok ini. Seumur hidup Wina nggak bakal bersikap baik sama cowok yang
ada di depannya ini. Lalu Wina mulai melanjutkan merapikan buku tanpa
menjawab pertanyaan cowok tersebut.
Cowok tinggi itu sepintas
mengernyitkan alisnya. Dan kembali ia tercenung karena cewek di depannya
tidak menanggapi. Biasanya kalau Wina terpancing dengan omongannya,
perang mulut pun akan terjadi dan takkan selesai sebelum seseorang
datang melerai.
Teeeett… Bel tanda berakhirnya jam istirahat
terdengar nyaring. “Maksud hati pengen bantu temen gue yang jelek ini.
Tapi apa daya udah keburu bel. Jadi sori nggak bisa bantu.” ucap cowok
tersebut sambil menekan kata jelek di pertengahan kalimat.
Cowok
tersebut masih menunggu reaksi cewek yang ada di depannya. Tapi yang
ditunggu tidak membalas dengan cemohan atau pun ejekan. “Lo berubah.”
gumam cowok tersebut lalu berbalik bersiap masuk ke kelasnya. Begitu
cowok itu membalikkan badannya, Wina yang sudah selesai membereskankan
buku mulai memasang ancang-ancang. Dengan semangat 45 Wina mulai
mengayunkan kaki kanannya kearah kaki kiri cowok tersebut dengan keras.
“Adooooww” pekik cowok tersebut sambil menggerang kesakitan.
“Makan
tuh sakit!!” ejek Wina sambil berlari membawa buku-buku yang tadi
sempat berserakan. Bisa dibayangkan gimana sakitnya tuh kaki. Secara
Wina pakek kekuatan yang super duper keras. Senyum kemenangan menghiasi
di wajah cewek tinggi kurus tersebut.
***
“Wina….”
Wina
menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Ternyata dari kejauhan
Amel teman baiknya sejak SMP sedang berlari kearahnya. Dengan santai
Wina membalikkan badannya berjalan mencari motor matic kesayangannya. Ia
sendiri lupa dimana menaruh motornya. Wina emang paling payah sama yang
namanya mengingat sesuatu. Masih celingak-celinguk mencari motor, Amel
malah menjitak kepalanya dari belakang.
“Woe non, budeg ya? Nggak
denger teriakan gue. Temen macem apaan yang nggak nyaut sapaan temennya
sendiri.” ucap Amel dengan bibir monyong. Ciri khas cewek putih
tersebut kalo lagi ngambek.
“Sori deh Mel. Gue lagi bad mood, pengen cepet pulang.”
“Bad
mood? Jelas-jelas lo tadi bikin gempar satu kelas. Udah nendang kaki
cowok ampe tuh cowok permisi pulang, nggak minta maaf lagi.” jelas Amel
panjang lebar.
“Hah? Sampe segitunya? Kan gue cuma nendang
kakinya, masak segitu parahnya?” Wina benar-benar nggak nyangka. Masa
sih keras banget? Tuh cowok ternyata bener-bener lembek, pikirnya dalam
hati.
“Nendang sih nendang tapi lo pakek tendangan super duper. Kasian Alex lho.”
“Enak aja. Orang dia yang mulai duluan.” bantah Wina membela diri.
Sejenak
Amel terdiam, lalu berlahan bibirnya tersenyum tipis. “Kenapa sih
kalian berdua selalu berantem? Masalahnya masih yang itu? Itu kan SMP.
Dulu banget. ” ujar Amel polos, tanpa bermaksud mengingatkan kejadian
yang lalu. “Lagi pula gue udah bisa nerima kalo Alex nggak suka sama
gue.”
“Tau ah gelap!”
***
Bel pulang berbunyi nyaring
bertanda jam pelajaran telah usai. Cuaca yang sedemikian panas tak
menyurutkan niat para siswa SMA Harapan untuk bergegas pulang ke rumah.
Wina sendiri sudah membereskan buku-bukunya. Sedangkan Amel masih
berkutat pada buku catatanya lalu sesekali menoleh ke papan tulis.
“Makanya
kalo nulis jangan kayak kura-kura.” Dengan gemas Wina menjitak kepala
Amel. “Duluan ya, Mel. Disuruh nyokap pulang cepet nih!” Amel hanya
mendengus lalu kembali sibuk dengan catatanya.
Saat Wina membuka
pintu kelas, seseorang ternyata juga membuka pintu kelasnya dari luar.
“Eh, sori..” ucap Wina kikuk. Tapi begitu sadar siapa orang yang ada di
depannya, Wina langsung ngasi tampang jutek kepada orang itu. “Ngapaen
lo kesini? Masih sakit kakinya? Apa cuma dilebih-lebihin biar kemaren
pulang cepet? Hah? Jadi cowok kok banci baget!!!”
Jujur Alex udah
bosen kayak gini terus sama Wina. Dia pengen hubungannya dengan Wina
bisa kembali seperti dulu. “Nggak usah cari gara-gara deh. Gue cuma mau
cari Amel.” ucap Alex dingin sambil celingak celinguk mencari Amel. “Hey
Mel!” ucap Alex riang begitu orang yang dicarinya nongol.
“Hey
juga. Jadi nih sekarang?” Amel sejenak melirik Wina. Lalu dilihatnya
Alex mengangguk bertanda mengiyakan. “Win, kita duluan ya,” ujar Amel
singkat.
Wina hanya benggong lalu dengan cepat mengangguk.
Dipandangi Amel dan Alex yang kian jauh. Entah kenapa, perasaanya jadi
aneh setiap melihat mereka bersama. Seperti ada yang sakit di suatu
organ tubuhnya. Biasanya Alex selalu mencari masalah dengannya. Namun
kini berbeda. Alex tidak menggodanya dengan cemohan atau ejekan khasnya.
Alex juga tidak menatapnya saat ia bicara. Seperti ada yang hilang.
Seperti ada yang pergi dari dirinya.
***
Byuuurr.. Fanta rasa
stowberry menggalir deras dari rambut Wina hingga menetes ke kemeja
putihnya. Wina nggak bisa melawan. Ia kini ada di WC perempuan. Apalagi
ini jam terakhir. Nggak ada yang akan bisa menolongnya sampai bel pulang
berbunyi.
“Maksud lo apa?” bentak Wina menantang. Ia nggak diterima di guyur kayak gini.
“Belum
kapok di guyur kayak gini?” balas cewek tersebut sambil menjambak
rambut Wina. “Tha, mana fanta jeruk yang tadi?” ucap cewek itu lagi,
tangan kanannya masih menjambak rambut Wina. Thata langsung memberi satu
botol fanta jeruk yang sudah terbuka.
“Lo mau gue siram lagi?” tanya cewek itu lagi.
Halo??!!
Nggak usah ditanya pun, orang bego juga tau. Mana ada orang yang secara
sukarela mau berbasah ria dengan fanta stroberry atau pun jeruk? Teriak
Wina dalam hati. Ia tau kalau cewek di depannya ini bernama Linda.
Linda terkenal sesaentro sekolah karena keganasannya dalam hal melabrak
orang. Yeah, dari pada ngelawan terus sekarat masuk rumah sakit, mending
Wina diem aja. Ia juga tau kalo Linda satu kelas dengan Alex. Wait,
wait.. Alex??? Jangan-jangan dia biang keladinya. Awas lo Lex, sampe gue
tau lo biang keroknya. Gue bakal ngamuk entar di kelas lo!
“Gue
rasa, gue nggak ada masalah ama lo.” teriak Wina sambil mendorong Linda
dengan sadisnya. Wina benar-benar nggak tahan sama perlakuan mereka.
Bodo amat gue masuk rumah sakit. Yang jelas ni nenek lampir perlu dikasi
pelajaran.
Kedua teman Linda, Thata dan Mayang dengan sigap
mencoba menahan Wina. Tapi Wina malah memberontak. “Buruan Lin, ntar
kita ketahuan.” kata Mayang si cewek sawo mateng.
Selang beberapa
detik, Linda kembali mengguyur Wina dengan fanta jeruk. “Jauhin Alex.
Gue tau lo berdua temenan dari SMP! Dulu lo pernah nolak Alex. Tapi
kenapa lo sekarang nggak mau ngelepas Alex?!!”
“Maksud lo?” ledek
Wina sinis. “Gue nggak kenal kalian semua. Asal lo tau gue nggak ada
apa-apa ama Alex. Lo nggak liat kerjaan gue ama tuh cowok sinting cuma
berantem?”
Plaakk.. Tamparan mulus mendarat di pipi Wina. “Tapi
lo seneng kan?” teriak Linda tepat disebelah kuping Wina. Kesabaran Wina
akhirnya sampai di level terbawah.
Buuugg! Tonjokan Wina
mengenai tepat di hidung Linda. Linda yang marah makin meledak. Perang
dunia pun tak terelakan. Tiga banding satu. Jelas Wina kalah. Tak perlu
lama, Wina sudah jatuh terduduk lemas. Rambutnya sudah basah dan sakit
karena dijambak, pjpinya sakit kena tamparan. Kepalanya terasa pening.
“Beraninya
cuma keroyokan!” bentak seorang cowok dengan tegas. Serempak trio geng
labrak menoleh untuk melihat orang itu, Wina juga ingin, tapi tertutup
oleh Linda. Dari suaranya Wina sudah tau. Tapi Ia nggak tau bener apa
salah.
“Pergi lo semua. Sebelum gue laporin.” ujar cowok itu
singkat. Samar-samar Wina melihat geng labrak pergi dengan buru-buru.
Lalu cowok tadi menghampiri Wina dan membantunya untuk berdiri. “Lo
nggak apa-apa kan, Win?”
“Nggak apa-apa dari hongkong!?”
***
Hujan
rintik-rintik membasahi bumi. Wina dan Alex berada di ruang UKS. Wina
membaringkan diri tempat tidur yang tersedia di UKS. Alex memegangi sapu
tangan dingin yang diletakkan di sekitar pipi Wina. Wina lemas luar
biasa. Kalau dia masih punya tenaga, dia nggak bakalan mau tangan Alex
nyentuh pipinya sendiri. Tapi karena terpaksa. Mau gimana lagi.
“Ntar lo pulang gimana?” tanya Alex polos.
“Nggak
gimana-mana. Pulang ya pulang.” jawab Wina jutek. Rasanya Wina makin
benci sama yang namanya Alex. Gara-gara Alex dirinya dilabrak
hidup-hidup. Tapi kalau Alex nggak datang. Mungkin dia bakal pingsan
duluan sebelum ditemukan.
“Tadi itu cewek lo ya?” ucap Wina dengan wajah jengkel.
“Nggak.”
“Trus
kok dia malah ngelabrak gue? Isi nyuruh jauhin lo segala. Emang dia
siapa? “ rutuk Wina kesal seribu kesal. Ups! Kok gue ngomong kayak gue
nggak mau jauh-jauh ama Alex. Aduuuhh…
Alex sejenak tersenyum.
“Dia tuh cewek yang gue tolak. Jadi dia tau semuanya tentang gue dan
termasuk tentang lo” ucap Alex sambil menunjuk Wina.
Wina diam.
Dia nggak tau harus ngapain setelah Alex menunjuknya. Padahal cuma
nunjuk. “Ntar bisa pulang sendiri kan?” tanya Alex.
“Bisalah. Emang lo mau nganter gue pulang?”
“Emang
lo kira gue udah lupa sama rumah lo? Jangan kira lo nolak gue terus gue
depresi terus lupaen segala sesuatu tentang diri lo. Gue masih paham
bener tentang diri lo. Malah perasaan gue masi sama kayak dulu.” jelas
Alex sejelas-selasnya. Alex pikir sekarang udah saatnya ngungkapin
unek-uneknya.
“Lo ngomong kayak gitu lagi, gue tonjok jidat lo!”
ancam Wina. Nih orang emang sinting. Gue baru kena musibah yang bikin
kepala puyeng, malah dikasi obrolan yang makin puyeng.
“Perasaan
gue masih kayak dulu, belum berubah sedikit pun. Asal lo tau, gue selalu
cari gara-gara ama lo itu ada maksudnya. Gue nggak pengen kita musuhan,
diem-dieman, atau apalah. Pas lo nolak gue, gue nggak terima. Tapi
seiring berjalannya waktu, kita dapet sekolah yang sama. Gue coba buat
nerima. Tapi nggak tau kenapa lo malah diemin gue. Akhirnya gue kesel,
dan tanpa sadar gue malah ngajakin lo berantem.” Sejenak Alex menanrik
nafas. “Lo mau nggak jadi pacar gue? Apapun jawabannya gue terima.”
Hening
sejenak diantara mereka berdua. “Kayaknya gue pulang duluan deh.” Ucap
Wina sambil buru-buru mengambil tasnya. Inilah kebiasaan Wina, selalu
mengelak selalu menghindar pada realita. Ia bener-bener nggak tau harus
ngapaen. Dulu ia nolak Alex karena Amel juga suka Alex. Tapi sekarang?
“Besok gue udah nggak sekolah disini. Gue pindah sekolah.” Alex berbicara tepat saat Wina sudah berada di ambang pintu UKS.
Wina diam tak sanggup berkata-kata. Dilangkahkan kakinya pergi meninggalkan UKS. Meninggalkan Alex yang termenung sendiri.
***
Kelas
masih sepi. Hanya ada beberapa murid yang baru datang. Diliriknya
bangku sebelah. Amel belum datang. Wina sendiri tumben datang pagi.
Biasanya ia datang 5 menit sebelum bel, disaat kelas sudah padat akan
penduduk. Semalam Wina nggak bisa tidur. Entah kenapa bayangan Alex
selalu terbesit di benaknya. Apa benar Alex pindah sekolah? Kenapa harus
pindah? Peduli amat Alex mau pindah apa nggak, batin Wina. “Argggg…
Kenapa sih gue mikir dia terus?”
“Mikirin Alex maksud lo?” ucap
Amel tiba-tiba udah ada disamping Wina. “Nih hadiah dari pangeran lo.”
Dilihatnya Amel mengeluarkan kotak biru berukuran sedang. Karena
penasaran dengan cepat Wina membuka kotak tersebut. Isinya bingkai foto
bermotif rainbow dengan foto Wina dan Alex saat mengikuti MOS SMP
didalamnya. Terdapat sebuah kertas. Dengan segera dibacanya surat
tersebut.
Dear wina,
Inget ga pertama kali kita
kenalan? Pas itu lo nangis gara-gara di hukum ama osis. Dalam hati gue
ketawa, kok ada sih cewek cengeng kayak gini? Hehe.. kidding. Lo dulu
pernah bilang pengen liat pelangi tapi ga pernah kesampaian. Semoga lo
seneng sama pelangi yang ada di bingkai foto. Mungkin gue ga bisa
nunjukin pelangi saat ini coz gue harus ikut ortu yang pindah tugas.
Tapi suatu hari nanti gue bakal nunjukin ke lo gimana indahnya pelangi.
Tunggu gue dua tahun lagi. Saat waktu itu tiba, ga ada alasan buat lo ga
mau jadi pacar gue.
“Kenapa lo nggak mau nerima dia? Gue
tau lo suka Alex tapi lo nggak mau nyakitin gue.” sejenak Amel
tersenyum. “Percaya deh, sekarang gue udah nggak ada rasa sama Alex. Dia
cuma temen kecil gue dan nggak akan lebih.”
“Thanks Mel. Lo emang sahabat terbaik gue.” ucap Wina tulus. “Tapi gue tetap pada prinsip gue.”
Amel
terlihat menerawang. “Jujur, waktu gue tau Alex suka sama lo dan cuma
nganggep gue sebagai temen kecilnya. Gue pengen teriak sama semua orang,
kenapa dunia nggak adil sama gue. Tapi seiring berjalannya waktu gue
sadar kalo nggak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk
kita.” senyum kembali menghiasi wajah mungilnya. “Dan lo harus janji
sama gue kalo lo bakal jujur tentang persaan lo sama Alex. Janji?”
lanjut Amel sambil mengangkat jari kelingkingnya.
Ingin rasanya
Wina menolak. Amel terlalu baik baginya. Dia sendiri tau sampai saat ini
Amel belum sepenuhnya melupakan Alex. Tapi Wina juga tak ingin
mengecewakan Amel. Berlahan diangkatnya jari kelingkingnya.
“Janji..” gumam Wina lirih.
***
By : Rai Inamas Leoni
TTL : Denpasar, 08 Agustus 1995
Sekolah : SMA Negeri 7 Denpasar